Sabtu, 09 Maret 2013

Contoh Karya Tulis Ilmiah

Karya Tulis Ilmiah
Kejahiliyahan Budaya Islam Indonesia



Mengidentifikasi Adanya Unsur – Unsur Kejahiliyah di Dalam Budaya Islam Indonesia Sebagai Dampak Dari Proses Akulturasi Budaya
Oleh :
Nailah Azkiya’
26 / 9F

Kata PFengantar
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
            Puji Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahanya sehingga kami sampai dengan detik ini kami masih bisa berkarya dengan menyalurkan hasil – hasil pemikiran dan beberapa catatan mengenai keilmuan yang kami punya melalui sebuah karya tulis sederhana yang kami tulis. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rosulullah SAW berserta para keluarga dan sahabatnya yang telah membantu perjuangannya dalam berdakwah menuntun umat manusia dari jalan hidup kejahiliyahan menuju jalan terang bendarang yang dirahmati oleh Allah SWT yaitu ‘addinul Islam.
Ucapan terima kasih selanjutnya ingin kami ucapkan kepada kedua orang tua kami yang telah membimbing kami dan menyelimuti hari – hari kami dengan berjuta ilmu semenjak kami baru terlahir di dunia. Juga kepada segenap keluarga dan para sahabat kami yang telah memberikan support yang tak terhingga kepada kami untuk terus maju dan semakin mengembangkan diri dari hari ke hari. Juga kepada seluruh saudara seukhuwah kami yang telah memberikan banyak masukan, kritik, dan saran serta penginspirasi bagi kami dalam menyusun karya tulis kami ini.
            Rasa syukur yang tak terhingga ingin kami sampaikan dengan terselesaikannya karya tulis kami yang ingin kami dedikasikan sepenuhnya bagi seluruh saudara seukhuwah kami di seluruh dunia, terutama bagi seluruh umat muslim Indonesia. Besar harapan kami agar nantinya sedikit ilmu dapat kami bagikan  ini bisa bermanfaat bagi seluruh umat manusia, khususnya para muslimin agar lebih mengerti dan memahami tentang amalan - amalan yang ia kerjakan.
Akhir kata kami ucapkan beribu ucapan terima kasih atas apresiasi dan pernghargaannya atas karya tulis kami yang kami buat. Kami menyadari jika karya tulis yang kami buat masih jauh dari kesempurnaan. Kami megharapkan banyak kritik dan saran yang dapat membantu membangun karya tulis kami agar semakin dan semakin baik lagi dikemudian hari.
Wasssalamu ‘alaikum wr. wb.

Sidoarjo,  Februari 2013

Penyusun

Daftar Isi

Kata pengantar………………………………………………………………………………………….2
Daftar isi………………………………………………………………………………………………...3
Pendahuluan…………………………………………………………………………………………….4
Bab I…………………………………………………………………………………………………….5
Bab II……………………………………………………………………………………………………8
Bab III…………………………………………………………………………………………………10
Kesimpulan……………………………………………………………………………………………16
Saran…………………………………………………………………………………………………...17
Penutup………………………………………………………………………………………………..18
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………19

Pendahuluan

Latar Belakang
            Ingankah anda dengan tradisi Mitoni, Janur Lengkung di rumah yang memiliki hajatan pernikahan, air kembang didalam mangkok yang digunakan untuk menaruh potongan rambut bayi pada saat aqiqah, tradisi menerangi kuburan ari – ari bayi dengan lampu, atau bahkan upacara bersih desa dengan prosesi do’a bersama di tempat keramat yang ada di daerah tersebut. Tradisi – tradisi diatas merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh banyak orang Indonesia, utamanya di tanah jawa. Pada umumnya orang – orang tersebut adalah para muslimin dan muslimah yang belum paham benar jika perbuatan – perbuatan yang mereka lakukan tersebut merupakan suatu bentuk bid’ah, atau lebih jauh dari itu sudah mendekati syirik atau perbuatan menyekutukan Allah SWT. Maka dari itu sudah menjadi kewajiban kita sebagai saudara seukhuwah untuk saling mengingatkan kepada kebaikan agar kita semua mendapat rahmat dari Allah SWT.
            Kodrat manusia sebagai khalifah di bumi seharusnya dapat membuat kita menjadi manusia yang baik meskipun kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Maka dari itu tentu wajib hukumnya bagi kita untuk dapat memilih dan memilah amalan – amalan apa sajakah yang harus, tidak harus, dan juga terlarang untuk kita kerjakan.

Manfaat
            Beberapa manfaat yang kami harapkan dengan adanya karya tulis kami ini diantaranya adalah : semakin kokohnya keimanan dan ketaqwaan umat muslim sebagai khalifah lil ‘alamin, tercapainya generasi Islam yang berwawasan luas dan mendasarkan setiap tindakannya pada Al – Qur’anul Karim dan Al – Hadist, dan juga mengajak setiap umat muslim yang membaca karya tulis ini untuk lebih kritis membawa diri di dalam perkembangan jaman yang bisa saja menggelincirkan keimanan kita kedalam Bid’ah dan Syirik atau perbuatan penyekutukan Allah SWT.
Tujuan
            Dengan adanya karya tulis yang kami buat ini adapun beberapa tujuan yang ingin kami capai adalah : mengajak setiap kaum muslimin di dunia untuk bersama – sama membangun proteksi diri dari hal – hal, perbuatan – perbuatan, dan amalan – amalan yang tidak disukai oleh Allah SWT, serta menumbuhkan kebiasaan berfikir kritis sebelum menerima suatu adat dan budaya yang mengatasnamakan Islam sebagai latar belakangnya. Karena bisa saja tradisi – tradisi tersebut hanyalah buatan – buatan manusia yang bahkan jauh menyimpang dari sumber utama tuntunan kehidupan umat  Islam yaitu Al – Qur’an ataupun rujukan penjelasnya Al – Hadist.

Bab I
Cikal Bakal Terakulturasinya Ajaran Islam Dengan Kebudayaan Kejawen
     Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindu atau Budha, dan sebagian yang lain menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni (sering disebut Islam Santri) dan golongan yang menganut Islam Kejawen (sering disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam Abangan). Masyarakat Jawa yang menganut Islam Santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain. Sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.
Dalam penelitiannya Clifford Geertz, seperti yang dikutip oleh Mark R. Woodwark, mengatakan bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan keraton. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme.
Hasil temuan Geerstz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagaman masyarakat Jawa, khususnya masyarakat muslimnya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap keberagaman masyarakatnya. Sikap keberagaman seperti ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga di kalangan masyarakat kota, terutama di kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan Yogayakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya.
Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.
Menurut Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian sendiri. Agama bagi kejawen adalah ‘Manunggaling Kawulo Gusti’ (bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam pandangan Islam santri dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Mengenai sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu percaya pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara lisan.#
Dalam tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan dengan istilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.#
Sedangkan berkaitan dengan budaya khas yang dimiliki masyarakat yang terkait dengan kehidupan beragamanya, menurut Simuh, ada tiga karakteristik:
1.      Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

2.      Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha
Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindu-Budha lebih mempersubur kepercayaan animism dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai ornag-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.

3.      Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang mendapat gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animism-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.

Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.#

Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.

Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.

Bab II
Beberapa Tradisi Kejawen Bernafaskan Islam Yang Masih Terlestarikan Hingga Kini
Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan Tuhannya. Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.
Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.
Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan.
Di antara nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan dan dilestarikan masyarakat Jawa sampai saat ini antara lain:
Sekaten
Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak. Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan semacam Sekaten yang disebut ‘Srada Agung’ itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut Sekaten dari kata ‘Sekati’. Pendapat lainnya menyatakan, kata Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Inti dari acara perayaan ini adalah berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.
Grebeg
Grebeg adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam seahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal dari bahasa Jawa ‘Grebeg’ yang berarti ‘diiringi para pengikut’. Karena perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang, sehingga disebut Grebebg. Pengertian Grebeg lain mengatakan bahwa karena gunungan itu diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.
Pelaksanaan upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti:
1.      Grebeg Syawal, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati hari raya Idul Fitri.
2.      Grebeg Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar (Dzulhijjah) untuk memperingati hari raya Idul Adha (Qurban).
3.      Grebeg Maulud, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Mulud (Rabiul Awal) untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada setiap upacara grebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam, buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng besar) sehingga desebut gunungan. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat yang ingin mendapatkan berkah dari gunungan itu.
Labuhan
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan adalah labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat.
Upacara Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda keraton ke laut, untuk dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta berharap semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu dapat hidup dengan damai sejahtera.
Di samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja mempunyai kewajiban untuk memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja sebelumnya terutama raja pendiri dinasti Mataram (Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu dianggap membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian maksud dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri Sultan, Kraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta.
Slametan
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Menurut Cliord Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”
Selain itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat tertentu, ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan, kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya. Slametan untuk memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut tahlilan.

Bab III
Hukum – Hukum Amalan Yang Tidak Pernah Dicontohkan Oleh Rosululah SAW
Tradisi Telonan, Mitoni, Tingkepan, dan Mengubur Ari – Ari.
 Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan [terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46]
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari]
Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam.
Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang kemudian dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan “AUM” agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda lain sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga kepada Empat Saudara tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya juga disiramkan kepada kendil tersebut.
Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya HARAM, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa’atnya. Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang menguburkan ari-ari. Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan dengan cara tertentu, karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan kosong yang tidak ada dasarnya dalam syariah.
Kala kepercayaan ini diteruskan, pelakunya bisa terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar, karena orang yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dosa yang dibawa mati tidak akan diampuni.
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ  
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS. An – Nisaa’ 48 )
Karena itu jangan sampai iman kita gugur hanya karena kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau dikubur dengan niat agar kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama halnya dengan mengubur bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu menjelma menjadi syetan, tetapi agar tidak terjadi pencemaran. Cara yang paling aman dan mudah adalah dengan menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk dikuburkan di dalam tanah. Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam kepercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.
Akan sangat disesalkan jika seseorang terjatuh ke dalam syirik tanpa dia sadari, dia melakukan perbuatan sekedar ikut-ikutan tanpa mengetahui bahwa hal tersebut adalah perkara yang dilarang.
Menyanyikan Atau Melagukan Dzikir Dan Do`a
Di antara hal-hal baru yang dimunculkan oleh manusia di dalam suara dan pelaksanaan ibadah adalah: bid’ah menyanyikan atau melagukan adzan, dzikir, do`a dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melagukan bacaan khutbah Jum’at, berdzikir dan berdo`a dengan suara keras di sanding jenazah pada beberapa kondisi, dzikir dengan berjamaah, yaitu dzikir jamaah di antara dua shalat tarawih, menge-raskan dzikir sewaktu keberangkatan dan kedatangan rombongan haji, meninggikan suara sewaktu ber-ta’rif (membaca dzikir dan do`a pada hari ‘Arafah) di berbagai tempat, berteriak sewaktu mengucapkan âmîn di dalam shalat, bersuara nyaring sewaktu membaca ayat kursi secara berjamaah setelah shalat, ucapan seorang muadzin (tukang adzan) dengan suara tinggi setelah shalat: ‘Ya Allah, Engkaulah Keselamatan…..” dan meninggikan suara sewaktu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah shalat, dan lain sebagainya dari hal-hal yang bila dikerjakan dan disuarakan merupakan perbuatan bid’ah. Atau dengan kata lain, bahwa menyuarakan dan mengeraskannya adalah bentuk perbuatan bid’ah.

Meninggikan suara ini telah dikenal dengan nama ‘Taqlîs’. Ath-Thurthusyi di dalam kitabnya “al-Hawâdits wa al-Bida’”, hal. 63, menuturkan bahwasanya Imam Malikrahimahullah sangat mengingkari perbuatan ‘Taqlîs’ di dalam do`a. Yaitu, meninggikan suara sewaktu berdo`a. Juga dilarang meninggikan suara sewaktu membaca al-Qur’an, sebagaimana ketika Imam Syafi’I rahimahullah mengungkapkan tentang Imam Abu Yusuf rahimahullah , beliau berkata, “Abu Yusuf adalah “Qallâs”, yaitu orang yang selalu meninggikan suaranya sewaktu membaca al-Qur’an.” Dan saya telah menjelaskan hal ini di dalam bahasan “Bida’ al-Qurrâ’”, hal.15-16.
Sungguh, berbagai hal baru ini telah menular kepada kalangan pengikut atsar (sunnah). Maka tidak heran jika Anda mendengar suara sangat keras di dalam bacaan qunut oleh sebagian imam di bulan Ramadhan, suara kadang direndahkan dan kadang dikeraskan sesuai dengan maksud dari do`anya, dan ditambah dengan berlebih-lebihan dalam melagukannya, membaguskan bacaan (tajwid)nya dan mentartilkannya, hingga seolah-olah dia sedang membaca satu surat al-Qur’an. Dengan bacaan yang demikian itu, dia berupaya memancing perasaan para makmum, agar mereka menangis.
Beribadah dengan hal-hal baru seperti itu di dalam Islam, yaitu bid’ah-bid’ah yang ditambahkan-tambahkan pada suara dan cara pelaksanaannya ini, asalnya bersumber dari syi’ar-syi’ar orang-orang Jahiliyah yang pernah mereka perlihatkan di Masjidil-Haram. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta’ala –dengan nada mengingkari-,
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَتَصْدِيَةً
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (al-Anfal: 35).
Kata “al-mukâ”, di dalam ayat ini berarti: bunyi siulan, dan kata ‘tashdiyah’ berarti: bersorak sambil bertepuk tangan hingga menimbulkan bunyi tepukan.
Ahli tafsir kesohor, Al-Alusi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah, bahwa sejenis amalan-amalan ini bukanlah ibadah, melainkan ia adalah syi’ar-syi’ar kaum Jahiliyah. Maka, siulan dan tepukan tangan yang sekarang ini dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh (awam) dari kaum muslimin di dalam masjid, yang mereka klaim sebagai ibadah dzikir kepada Allah ta’ala, termasuk dalam kategori perbuatan orang-orang Jahiliyah. Sungguh, alangkah indahnya ucapan seseorang yang mengatakan: “Pernahkah Allah ta’ala mengatakan: “Bersoraklah untuk-Ku, bernyanyilah, ucapkanlah kekufuran, dan namakan kekufuran itu sebagai dzikir.” Demikian tutur beliau.
Dan berbagai nada, suara merdu, paduan suara dan lagu yang mengiringi dzikir dan do`a ini, menyerupai apa yang dibuat-buat oleh orang-orang Nasrani di dalam puji-pujian mereka. Padahal, Nabi Isa ‘alaihi sallam beserta para hawariyûn (pengikut setia beliau) tidak pernah menyuruh mereka melakukan itu. Itu sebenarnya dibuat dan diada-adakan oleh orang-orang nasrani, seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Oleh karena itu, pada saat ini, kami melihat dan mendengar nyanyian di dalam do`a merupakan ciri khas kelompok Rafidhah dan Tarekat. Maka, wajib bagi kaum Ahlussunnah agar menghindarkan diri dari menyerupai perbuatan mereka.
Maulid Nabi
Maulid mempunyai arti kelahiran. Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah salah satu momentum dari sekian banyak momentum sejarah islam. Tetapi kemudian, sebenarnya dalam sejarah nabi SAW momentum tersebut bukan hanya kelahiran Nabi. Terdapat sebuah cerita yang menarik, bahwa sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khottob ra pernah mengalami suatu masa bahwa beliau di kritik oleh Gubernur-nya tentang sebuah surat yang dikirim oleh Umar bin Khottob tanpa menyertakan tanggal di dalam surat tersebut. Kritikan tersebut di tanggapi oleh Umar bin Khottob dengan membuat sistem perhitungan kalender secara islam. Dimana dalam proses pembuatan kalender islam tersebut terdapat usulan bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW bisa dijadikan momentum perhitungan kalender secara Islam. Namun ternyata usulan tersebut ditolak yang artinya momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut tidak terlalu penting bagi para sahabat. Dan yang kemudian dijadikan momentum dan lebih penting adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari mekkah ke madinah. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak terlalu populer bagi para sahabat. Tapi memang momentum tersebut dibenarkan kalau dianggap penting.
Kemudian muncul pertanyaan, “Siapa sebenarnya yang memulai perayaan Maulid?” Jika ditelusuri dari buku-buku Islam didapatken versi-versi yang berbeda-beda. Beberapa versi diantaranya adalah :
Versi 1 – Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni 1138 – 1193 M)[1]. Shalahuddin hidup dibeberapa abad setelah kematian Nabi Muhammad SAW. Dalam masa sekian lama, umat Islam tidak mengenal perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Baru pada masa Shalahuddin-lah perayaan Maulid tersebut mulai ada. Setelah menang perang salib, Shalahuddin kemudian tinggal di Mesin yang wilayah kekuasaan-nya sampai meliputi Libya, Tunisia, Moroko dsb[2]. Shalahuddinlah inilah yang kemudian mengumpulkan dan menyatukan para pemuda islam di seluruh dunia dan membentuk pasukan multi nasional milik umat islam dan mengusir tentara salib dari Palestina. Salah satu materi kaderisasi yang menumbuhkan semangat jihat pasukan islam tersebut adalah dengan memasukkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan tersebut diangkat karena bisa membakar rasa cemburu umat Islam.
Versi 2 – Daulah Fatimiyah (Syiah 909 -1171 M)[3]. Daulah Fatimiyah memiliki daerah yang cukup luas dan berkuasa sebelum Shalahuddin Al-Ayyubi. Di jaman inilah muncul perayaan Maulid. Daulah ini kemudian direbut oleh Shalahuddin dan kemudian mengubahnya menjadi Sunni.
Versi 3 – Mudzaffar Qutuz (Pahlawan Perang ain jalut)[4]
Dari ketiga versi tersebut dimungkinkan memang sebagai cikal-bakal perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun perlu disepakati bahwa sebelumnya terutama di jaman Nabi perayaan Maulid tersebut tidak pernah ada.
Pertanyaan yang menarik berikutnya adalah “Benarkah Nabi SAW lahir di tanggal 12 Rabi’ul Awwal?” Ternyata tidak semua umat Islam mengakui tanggal 12 Rabi’ul Awwal sebagai hari kelahiran NAbi Muhammad SAW. Menurut versi Syiah, Bahwa Nabi dilahirkan hari Jumat 17 Rabi’ul Awwal, bukan tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan menurut Versi Sunni, 12 Rabi’ul Awwal adalah tanggal kelahiran nabi Muhammad SAW namun tidaklah mutlak di tanggal tersebut.
Al-Barzanji (Pembaca Rawi)
Dalam syair tersebut ternyata terdapat pernyataan tentang tanggal 12 Rabi’ul Awwwal sebagai tanggal kelahiran Nabi SAW. Artinya bahwa perbedaan pendapat tanggal kelahiran sudah ada selain Syaih dan Sunni, namun juga ada versi-versi yang lain.
Rasulullah sendiri juga tidak pernah menyebutkan tanggal kelahiran-nya secara pasti, karena mungkin dianggap tidaklah momentum terlalu penting. Dan tidak ada satu-pun hadist yang menyebutkan secara pasti tanggal dan hari kelahiran nabi SAW. Hadist yang shahih menyebutkan bahwa Rasulullah lahir di hari Senin. Itulah salah satu sebabnya ada puasa Senin-Kamis.
Merayakan Maulid Hukumnya Boleh, menurut :
Al Imam As Suyuti (ahli hadist) ketika menulis dalam kitab-nya, beliu membuat fatwa/pernyataan “adapun perbuatan menyambut Maulid merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafus sholeh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan tersebut penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji. Jika sambutan Maulid tersebut terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar Syariah ,maka tergolong Bid’ah khasanah”. Dari pernyataan tersebut bahwa para ulama sepakat dan setuju bahwa tidak ada riwayat tentang perayaan Maulid nabi. Namun perayaan Maulid tersebut dianggap terpuji melihat apa yang dilakukan Shalahuddin terhadap pasukan muslim dalam membakar semangat jibat dalam berperang melawan tentara salib
Pendapat Ibnu Kattsir. Menurut Ibnu Kattsir “Abu Lahab diringankan siksanya setiap hari Senin lantaran ikut bergembira saat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan membebaskan budaknya”. Ada sebuah riwayat yang disebutkan bahwa setiap hari Senin siksaan Abu Lahab di neraka dikurangi. Sehingga menurut Ibnu Kattsir, jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya diringankan siksa kuburnya setiap hari senin apalagi hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran nabi Muhammad SAW dan meninggal dengan menyebut Ahad (Allah).
Ibnu Hajjar. Bahwa “Malam kelahiran Nabi Muhammada SAW merupakan malam yang mulia utama dan malam yang diberkahi malam yang suci malam yang menggembirakan bagi kaum mukminin malam yang bercahaya-cahaya terang-benderang dan bersinar-sinar yang tidak ternilai”
Sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim) Dari hadist tersebut dapat diambil pengertian bahwa Nabi melakukan pengagungan pada hari kelahiran-nya dengan berpuasa Sunnah di hari Senin. Bahkan secara tidak langsung dengan berpuasa Senin-Kamis, maka umat Islam telah memperingati kelahiran nabi Muhammad seminggu sekali.
Hukumnya Tidak Boleh Bahwa semua hadist tentang Maulid nabi adalah palsu, karena maulid nabi belum ada di jaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada contoh kongkrit dari Nabi Muhammad SAW tentang perayaan Maulid. Kebiasaan perayaan maulid Nabi SAW ini dikhawatirkan akan seperti Nasrani menyembah Isa as, yang lama-kelamaan menjadikan Isa sebagai tuhan mereka.
Perkara perayaan Maulid Nabi SAW sudah ada sejak jaman dahulu antara yang menentang dengan yang mendukung. Apa yang bisa dilakukan umat Islam yang menentang adanya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW sedangkan dia berada dalam lingkungan yang mayoritas merayakan maulid?? Sebagai umat Islam, hendaklah bisa menghormati satu sama lain dan tetap menjaga ukhuwah islamiyah antar umat muslim. Karena perbedaan perayaan Maulid bukanlah berhubungan dengan aqidah.
Bertepuk Tangan dan Bersiul
            Bertepuk tangan dalam suatu pesta merupakan perbuatan jahiliyah, dan setidaknya perbuatan itu adalah perbuatan yang makruh. Tetapi secara jelas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam; karena kaum muslimin dilarang mengikuti ataupun menyerupai perbuatan orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman tentang sifat orang-orang kafir penduduk Makkah,
$tBur tb%x. öNåkèEŸx|¹ yYÏã ÏMøt7ø9$# žwÎ) [ä!%x6ãB ZptƒÏóÁs?ur 4 (#qè%räsù z>#xyèø9$# $yJÎ/ óOçFZä. šcrãàÿõ3s? ÇÌÎÈ  
sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. ( QS. Al – Anfal 35 )
Para ulama berkata, "Al-muka' mengandung pengertian bersiul, sedangkan at-tashdiyah mengandung pengertian bertepuk tangan. Adapun perbuatan yang disunnahkan bagi kaum muslimin adalah jika mereka melihat atau mendengar sesuatu yang membuat mereka takjub, hendaklah mereka mengucapkan subhanallah atau Allahu akbar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Bertepuk tangan hanya disyariatkan khusus bagi kaum wanita ketika mendapatkan seorang imam melakukan suatu kesalahan di dalam shalat saat mereka melaksanakan shalat berjamaah bersama kaum pria, maka kaum wanita disyariatkan untuk mengingatkan kesalahan imam dengan cara bertepuk tangan, sedangkan kaum pria memperingatkannya dengan cara bertasbih (mengucap kata subhanallah) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Maka jelaslah bahwa bertepuk tangan bagi kaum pria merupakan penyerupaan terhadap perbuatan orang-orang kafir dan perbuatan wanita, sehingga bertepuk tangan dalam suatu pesta -baik kaum pria maupun wanita- adalah dilarang menurut syariat.

Kesimpulan
            Beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik dari sedikit catatan yang telah kami sampaikan di dalam karya tulis kami antara lain ialah :
1.      Banyak budaya Islam yang berkembang tidak hanya di Indonesia akan tetapi juga di berbagai belahan dunia lain yang mengataskanamakan Islam sebagai latar belakangnya. Padahal amal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rosululah SAW.
2.      Di masa kini sedang marak disertakannya dalil – dalil palsu yang sesungguhnya hanya dibuat sendiri oleh si pengarang ataupun si pembuat wacana untuk menguatkan argumentasi yang disampaikannya. Hal yang demikian inilah yang disebut menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan pribadi.
3.      Perihal dalil – dalil palsu yang kini tengah merajalela di kalangan umat muslim sesungguhnya itulah salah satu bentuk dari penodaan Al – Qur’an yang pelakunya sangat dilaknati oleh Allah SWT.
4.      Kita sebagai umat muslim yang tak lagi awam terhadap ilmu – ilmu agama harus lebih bis memproteksi diri dari bahaya kesyirikan yang dengan mudah dapat kita temu di dalam perkembangan Islam di masa kini.
5.      Kita harus mencari tahu rujukan ataupun dalil – dalil yang jelas atas setiap amalan – amalan apa yang kita perbuatan agar kita tidak merasa ragu – ragu. Sesungguhnya ragu – ragu itulah telah diperintahkan Allah SWT untuk ditinggalkan oleh setiap muslim.

Saran
            Seharusnya setiap umat muslim di bumi ini menyadari bahwa dirinya adalah cipataan Allah SWT dan Allah SWT telah memberikan kepada umat muslim di muka bumi ini sebuah sumber ajaran kehidupan yang relevan dan terjaga kemurniannya hingga akhirul jaman. Maka dari itu hendaknya kita berfikir atas apa yang kita perbuat dan mencari kebenaran hukumnya di dalam Al – Qur’anul Karim sebelum menjadikannya sebuah amalan apalagi amalan yang diistiqomahkan.
            Selain daripada itu seharusnya setiap umat muslim di muka bumi ini hendaknya selalu menerapkan sikap saling mengingatkan dan amal ma’ruf nahi munkar. Agar kita dapat saling menjaga dari perbuatan – perbuatan dosa yang laknati oleh Allah SWT. Sesungguhnya saya pribadi kurang setuju dengan tindakan para kiai ataupun ulama yang membangun pesantren – pesantren dengan tujuan memproteksi generasi muda dari kemunkaran. Apakah yang wajib diproteksi hanya generasi muda saja? Tidak! Seharusnya mereka tidak mengurung suatu keilmuan hanya didalam satu wadah. Akan tetapi seharusnya mereka menyebarkannya kedalam setiap lekuk dan konteks kehidupan umat manusia agar ilmu tersebut dapat bermanfaat sehingga akan lebih banyak muslim yang diselamatkan dari perbuatan dosa.

Penutup
            Assalamu ‘alaikum wr. wb.
            Puji Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahanya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis sederhana ini dengan baik meskipun masih jauh dari kesempurnaan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rosulullah SAW berserta para keluarga dan sahabatnya yang telah membantu perjuangannya dalam berdakwah menuntun umat manusia dari jalan hidup kejahiliyahan menuju jalan terang bendarang yang dirahmati oleh Allah SWT yaitu ‘addinul Islam.
            Mungkin hanya ini sedikit banyak ilmu yang dapat kami bagikan dengan tujuan mengajak seluruh umat muslim dimuka bumi ini agar lebih baik lagi dalam mengamalkna ajaran – ajaran Islam. Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk membuat kami lebih baik lagi di kemudian hari. Besar harapan kami agar nantinya karya tulis yang kami buat ini dapat memberikan manfaat dan menjauhkan kita semua dari perbuatan dosa dan sia – sia. Amin…
            Wassalammu ‘alaikum wr. wb.

Sidoarjo,  Februari 2013

Penyusun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar