Karya
Tulis Ilmiah
Kejahiliyahan
Budaya Islam Indonesia
Mengidentifikasi Adanya Unsur – Unsur
Kejahiliyah di Dalam Budaya Islam Indonesia Sebagai Dampak Dari Proses
Akulturasi Budaya
Oleh :
Nailah Azkiya’
26 / 9F
Kata PFengantar
Assalamu
‘alaikum wr. wb.
Puji Syukur kehadiran Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan hidayahanya sehingga kami sampai dengan detik ini
kami masih bisa berkarya dengan menyalurkan hasil – hasil pemikiran dan
beberapa catatan mengenai keilmuan yang kami punya melalui sebuah karya tulis
sederhana yang kami tulis. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada junjungan kita Rosulullah SAW berserta para keluarga dan sahabatnya yang
telah membantu perjuangannya dalam berdakwah menuntun umat manusia dari jalan
hidup kejahiliyahan menuju jalan terang bendarang yang dirahmati oleh Allah SWT
yaitu ‘addinul Islam.
Ucapan
terima kasih selanjutnya ingin kami ucapkan kepada kedua orang tua kami yang
telah membimbing kami dan menyelimuti hari – hari kami dengan berjuta ilmu semenjak
kami baru terlahir di dunia. Juga kepada segenap keluarga dan para sahabat kami
yang telah memberikan support yang tak terhingga kepada kami untuk terus maju
dan semakin mengembangkan diri dari hari ke hari. Juga kepada seluruh saudara
seukhuwah kami yang telah memberikan banyak masukan, kritik, dan saran serta
penginspirasi bagi kami dalam menyusun karya tulis kami ini.
Rasa syukur yang tak terhingga ingin
kami sampaikan dengan terselesaikannya karya tulis kami yang ingin kami
dedikasikan sepenuhnya bagi seluruh saudara seukhuwah kami di seluruh dunia, terutama
bagi seluruh umat muslim Indonesia. Besar harapan kami agar nantinya sedikit
ilmu dapat kami bagikan ini bisa
bermanfaat bagi seluruh umat manusia, khususnya para muslimin agar lebih
mengerti dan memahami tentang amalan - amalan yang ia kerjakan.
Akhir
kata kami ucapkan beribu ucapan terima kasih atas apresiasi dan pernghargaannya
atas karya tulis kami yang kami buat. Kami menyadari jika karya tulis yang kami
buat masih jauh dari kesempurnaan. Kami megharapkan banyak kritik dan saran
yang dapat membantu membangun karya tulis kami agar semakin dan semakin baik
lagi dikemudian hari.
Wasssalamu
‘alaikum wr. wb.
Sidoarjo,
Februari 2013
Penyusun
Daftar Isi
Kata pengantar………………………………………………………………………………………….2
Daftar isi………………………………………………………………………………………………...3
Pendahuluan…………………………………………………………………………………………….4
Bab I…………………………………………………………………………………………………….5
Bab II……………………………………………………………………………………………………8
Bab III…………………………………………………………………………………………………10
Kesimpulan……………………………………………………………………………………………16
Saran…………………………………………………………………………………………………...17
Penutup………………………………………………………………………………………………..18
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………………19
Pendahuluan
Latar Belakang
Ingankah anda dengan tradisi Mitoni,
Janur Lengkung di rumah yang memiliki hajatan pernikahan, air kembang didalam
mangkok yang digunakan untuk menaruh potongan rambut bayi pada saat aqiqah,
tradisi menerangi kuburan ari – ari bayi dengan lampu, atau bahkan upacara
bersih desa dengan prosesi do’a bersama di tempat keramat yang ada di daerah tersebut. Tradisi – tradisi diatas
merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh banyak orang Indonesia,
utamanya di tanah jawa. Pada umumnya orang – orang tersebut adalah para
muslimin dan muslimah yang belum paham benar jika perbuatan – perbuatan yang
mereka lakukan tersebut merupakan suatu bentuk bid’ah, atau lebih jauh dari itu
sudah mendekati syirik atau perbuatan menyekutukan Allah SWT. Maka dari itu
sudah menjadi kewajiban kita sebagai saudara seukhuwah untuk saling
mengingatkan kepada kebaikan agar kita semua mendapat rahmat dari Allah SWT.
Kodrat manusia sebagai khalifah di
bumi seharusnya dapat membuat kita menjadi manusia yang baik meskipun
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Maka dari itu tentu wajib
hukumnya bagi kita untuk dapat memilih dan memilah amalan – amalan apa sajakah
yang harus, tidak harus, dan juga terlarang untuk kita kerjakan.
Manfaat
Beberapa
manfaat yang kami harapkan dengan adanya karya tulis kami ini diantaranya
adalah : semakin kokohnya keimanan dan ketaqwaan umat muslim sebagai khalifah
lil ‘alamin, tercapainya generasi Islam yang berwawasan luas dan mendasarkan
setiap tindakannya pada Al – Qur’anul Karim dan Al – Hadist, dan juga mengajak
setiap umat muslim yang membaca karya tulis ini untuk lebih kritis membawa diri
di dalam perkembangan jaman yang bisa saja menggelincirkan keimanan kita
kedalam Bid’ah dan Syirik atau perbuatan penyekutukan Allah SWT.
Tujuan
Dengan
adanya karya tulis yang kami buat ini adapun beberapa tujuan yang ingin kami
capai adalah : mengajak setiap kaum muslimin di dunia untuk bersama – sama
membangun proteksi diri dari hal – hal, perbuatan – perbuatan, dan amalan –
amalan yang tidak disukai oleh Allah SWT, serta menumbuhkan kebiasaan berfikir
kritis sebelum menerima suatu adat dan budaya yang mengatasnamakan Islam
sebagai latar belakangnya. Karena bisa saja tradisi – tradisi tersebut hanyalah
buatan – buatan manusia yang bahkan jauh menyimpang dari sumber utama tuntunan
kehidupan umat Islam yaitu Al – Qur’an
ataupun rujukan penjelasnya Al – Hadist.
Bab I
Cikal Bakal Terakulturasinya Ajaran
Islam Dengan Kebudayaan Kejawen
Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang
ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama
nenek moyangnya, yakni beragama Hindu atau Budha, dan sebagian yang lain
menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama
Islam, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan
yang menganut Islam murni (sering disebut Islam Santri) dan golongan
yang menganut Islam Kejawen (sering disebut Agama Jawi atau
disebut juga Islam Abangan). Masyarakat Jawa yang menganut Islam Santri
biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain. Sedang
yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan
Bagelen.
Dalam
penelitiannya Clifford Geertz, seperti yang dikutip oleh Mark R. Woodwark,
mengatakan bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa kecuali di
kalangan komunitas kecil para pedagang, dan hampir tidak ada sama sekali di
dalam lingkungan keraton. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan
utama: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi,
kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan,
masyarakat desa pemeluk animisme.
Hasil
temuan Geerstz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagaman
masyarakat Jawa, khususnya masyarakat muslimnya, meskipun dalam perkembangan
selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang
agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme
yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam
dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik,
bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa
ikut mempengaruhi sikap keberagaman masyarakatnya. Sikap keberagaman seperti
ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga di kalangan masyarakat
kota, terutama di kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan Yogayakarta, Solo
(Surakarta), dan kota-kota lainnya.
Masyarakat
seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal
dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsep-konsep
Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan
diakui sebagai agama Islam. Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat
muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya
aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen
sebenarnya bisa dikategorikan sebagai budaya yang bertentangan dengan ajaran
Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilaku-perilaku yang bertentangan
dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain
kekuatan Allah SWT. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah
percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap
dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang.
Menurut
Soesilo Faham, Kejawen (sintekrisme) adalah percampuran agama
Hindu-Budha-Islam, meskipun berupa percampuran, namun ajaran kejawen masih
berpegang pada tradisi Jawa asli sehingga dapat dikatakan mempunyai kemandirian
sendiri. Agama bagi kejawen adalah ‘Manunggaling Kawulo Gusti’
(bersatunya hamba dengan Tuhan). Konsep penyatuan hamba dengan Tuhan dalam
pandangan Islam santri dianggap mengarah pada persekutuan Tuhan atau perbuatan
syirik. Islam kejawen sebagai sebuah varian dalam Islam merupakan hasil dari
proses dialog antara tatanan nilai Islam dengan budaya lokal Jawa yang lebih
berdimensi tasawuf dan bercampur dengan budaya Hindu yang kurang menghargai
aspek syari’at dalam arti yang berkaitan dengan hukum-hukum hakiki agama Islam.
Mengenai
sistem keyakinan Islam Kejawen juga sama dengan Islam lainnya, yaitu percaya
pada adanya Allah, Rasulullah atau Nabi, dan konsep askatologis lainnya dan
pada saat yang sama orang Jawa juga percaya pada adanya dewa-dewa, makhluk
halus dan roh-roh dari nenek moyang yang sudah meninggal. Sistem keyakinan
orang kejawen ini lebih banyak ditransformasikan kepada para pengikutnya secara
lisan.#
Dalam
tradisi orang Kejawen, penghormatan kepada orang yang lebih tua, dan jika ia
sudah meninggal mereka menyebutnya leluhur. Istilah leluhur selalu dikaitkan
dengan istilah yang bermuara kepada para pembuka tanah (cikal bakal desa). Oleh
karena itu, kalangan masyarakat Jawa, terutama yang kurang terpelajar tidak
terbiasa menulis secara cermat, tetapi hanya budaya lisan sehingga sering kali
apa yang disebut leluhur itu hanya perkiraan saja. Lalu yang paling menonjol
adalah memitoskan tokoh leluhur itu. Eksistensi leluhur dalam masyarakat
Kejawen adalah sosok yang arwahnya berada dalam alam ruhani yang dekat dengan
Yang Mahaluhur yang selalu patut untuk diteladani.#
Sedangkan
berkaitan dengan budaya khas yang dimiliki masyarakat yang terkait dengan
kehidupan beragamanya, menurut Simuh, ada tiga karakteristik:
1. Kebudayaan
Jawa pra Hindu-Budha
Kebudayaan
masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama
Hindu-Budha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat
yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme
merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan
masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion
magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa.
2. Kebudayaan
Jawa masa Hindu-Budha
Kebudayaan
Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Budha, prosesnya
bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah
kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan
kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat
bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindu-Budha lebih mempersubur kepercayaan
animism dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita
mengenai ornag-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan
kata-kata) yang dipandang magis.
3.
Kebudayaan Jawa Masa Kerajaan Islam
Kebudayaan
ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindu menjadi Jawa-Islam di Demak.
Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama yang mendapat
gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada
di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animism-dinamisme)
dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindu-Budha seperti di
Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam
Jawa, yaitu Santri dan Abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman
mereka.
Sementara
itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius,
non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini
melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa
seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan
Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak
idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan)
dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke
arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan
ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar
manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat
konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada
simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai;
dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.#
Pandangan
hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal
Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama
dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka
tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa
semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua
agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya
sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa.
Masyarakat
Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan,
terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai
agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka,
seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam
sebagai agamanya,
meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima
waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji.
Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen,
mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang
yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat
atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan
lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka
peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang
mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan
para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa.
Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan
Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat
Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi
berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan
berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk
halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia
yang masih hidup. Makhluk-makhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang
merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan
makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan
berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan
adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya
penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai
Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat
mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai
hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah
laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.
Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan
keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini
justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara
dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing
daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan
wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
Bab II
Beberapa Tradisi Kejawen Bernafaskan
Islam Yang Masih Terlestarikan Hingga Kini
Sebagian
besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam
kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam
kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus,
atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat
itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan
Tuhannya. Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada
masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke
makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk
mencari berkah.
Masyarakat
Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari
juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-pandangan,
nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya.
Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen
tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan.
Mereka
tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang
paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang
merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang
kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.
Tradisi
dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang
Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama
dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada
momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang
bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan.
Di
antara nilai-nilai budaya lokal yang masih dipertahankan dan dilestarikan
masyarakat Jawa sampai saat ini antara lain:
Sekaten
Menurut
sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak kerajaan Islam Demak. Meski
sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan
semacam Sekaten yang disebut ‘Srada Agung’ itu sudah ada. Perayaan yang menjadi
tradisi kerajaan Majapahit tersebut berupa persembahan sesaji kepada para dewa,
disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.
Namun
ketika Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Demak, oleh Raden Patah
(Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut
selanjutnya dialihkan menjadi kegiatan yang bersifat Islami. Serta menjadi
sarana pengembangan (syiar) Islam yang dilakukan para wali dengan membunyikan
gamelan yang bernama Kyai Sekati pada setiap bulan Mulud (Jawa), dalam rangka
perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu kemudian disebut
Sekaten dari kata ‘Sekati’. Pendapat lainnya menyatakan, kata Sekaten berasal
dari bahasa Arab, yaitu syahadatain, yang berarti dua kalimat syahadat. Inti
dari acara perayaan ini adalah berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
sekaligus sebagai wahana dakwah agama Islam di Jawa, terutama Yogyakarta.
Grebeg
Grebeg
adalah upacara adat di Keraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam
seahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai istilah Grebeg ini berasal
dari bahasa Jawa ‘Grebeg’ yang berarti ‘diiringi para pengikut’. Karena
perjalanan Sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak orang,
sehingga disebut Grebebg. Pengertian Grebeg lain mengatakan bahwa karena
gunungan itu diperebutkan warga masyarakat yang berarti digrebeg.
Pelaksanaan
upcara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar Islam seperti:
1. Grebeg
Syawal, dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk memperingati hari
raya Idul Fitri.
2. Grebeg
Besar, dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar (Dzulhijjah) untuk
memperingati hari raya Idul Adha (Qurban).
3. Grebeg
Maulud, dilaksanakan pada hari keduabelas bulan Mulud (Rabiul Awal) untuk
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada
setiap upacara grebeg, Sultan berkenan memberi sedekah berupa gunungan kepada
rakyatnya. Gunungan tersebut berisi makanan yang dibuat dari ketan, telur ayam,
buah-buahan, serta sayuran yang semuanya dibentuk seperti gunung (tumpeng
besar) sehingga desebut gunungan. Gunungan ini sebagai simbol kemakmuran dan
kesejahteraan kerajaan Mataram. Selanjutnya gunungan tersebut dibawa menuju
halaman Masjid Agung untuk dibacakan doa terlebih dahulu oleh Abdi Dalem
Penghulu Kraton. Setelah itu gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat
yang ingin mendapatkan berkah dari gunungan itu.
Labuhan
Labuhan
berasal dari kata labuh yang artinya sama dengan larung yaitu membuang sesuatu
ke dalam air (sungai atau laut). Dalam hal yang ini yang dibicarakan adalah
labuhan dalam arti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu
tempat.
Upacara
Labuhan yaitu upacara melempar sesaji dan benda-benda keraton ke laut, untuk
dipersembahkan kepada Penguasa Laut Selatan atau Kanjeng Ratu Kidul, dengan
maksud sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala kemurahan
yang telah diberikan kepada seluruh pimpinan dan rakyat Yogyakarta, serta
berharap semoga Keraton Mataram Yogyakarta tetap lestari dan rakyatnya selalu
dapat hidup dengan damai sejahtera.
Di
samping itu adanya kepercayaan bahwa setiap raja mempunyai kewajiban untuk
memberikan sesaji kepada roh halus yang menunggui tempat-tempat yang mempunyai
peranan penting (misalnya tempat bertapa) dari raja-raja sebelumnya terutama
raja pendiri dinasti Mataram (Panembahan Senapati), karena roh-roh halus itu dianggap
membantu pendiri dinasti itu dalam menegakkan kerajaan. Dengan demikian maksud
dan tujuan diadakannya upacara labuhan ialah untuk keselamatan pribadi Sri
Sultan, Kraton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta.
Slametan
Slametan
berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia,
sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden
yang tidak dikehendaki. Menurut Clifford
Geertz, slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih
tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut
dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah
kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer
sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki
skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang
pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh
penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan
penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan
kekuatan kekacauan (talak balak). Dalam tradisi slametan, unsur yang dicari
bukanlah makan bersama di tempat si empunya hajat, melainkan oleh-oleh berupa
berkat (berkah) yang diyakini sebagai makanan “bertuah.”
Selain
itu, slametan juga dilakukan apabila mereka mempunyai niat atau hajat tertentu,
ketika akan membangun rumah, pindah rumah, menyelenggarakan pesta perkawinan,
kehamilan anak pertama. Di samping itu juga untuk memperingati keluarga yang
meninggal. Slametan untuk memperingati keluarga yang meninggal ini dilakukan
untuk memperingati 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, dan 1000 harinya.
Slametan untuk memperingati orang yang meninggal biasanya disertai membaca
dzikir dan bacaan thoyyibah tahlil, sehingga slametan ini biasa juga disebut
tahlilan.
Bab III
Hukum – Hukum Amalan Yang Tidak Pernah
Dicontohkan Oleh Rosululah SAW
Tradisi Telonan,
Mitoni, Tingkepan, dan Mengubur Ari – Ari.
Telonan, Mitoni
dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah
tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon
keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut
Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam
kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan [terdapat
dalam Kitab Upadesa hal. 46]
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan
letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat
Saudara” [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah,
air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari]
Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua
kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung
pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang
bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi
pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga
oleh unsur kekuatan alam.
Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah
ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang kemudian
dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil
atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan “AUM” agar sang Hyang Widhi
melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda lain sebagai persembahan
kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu
apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang
berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu,
selama tiga bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga
kepada Empat Saudara tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya
juga disiramkan kepada kendil tersebut.
Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu
hukumnya HARAM, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada
manfa’atnya. Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang menguburkan ari-ari.
Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan dengan cara tertentu,
karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan kosong yang tidak ada
dasarnya dalam syariah.
Kala kepercayaan ini diteruskan, pelakunya bisa
terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar, karena orang
yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dosa yang dibawa mati tidak akan
diampuni.
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik)
itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,
Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS. An – Nisaa’ 48 )
Karena itu jangan sampai iman kita gugur hanya karena
kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau dikubur dengan niat agar
kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama halnya dengan mengubur
bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu menjelma menjadi syetan,
tetapi agar tidak terjadi pencemaran. Cara yang paling aman dan mudah adalah
dengan menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk
dikuburkan di dalam tanah. Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam
kepercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.
Akan sangat disesalkan jika seseorang terjatuh ke
dalam syirik tanpa dia sadari, dia melakukan perbuatan sekedar ikut-ikutan
tanpa mengetahui bahwa hal tersebut adalah perkara yang dilarang.
Menyanyikan Atau
Melagukan Dzikir Dan Do`a
Di antara hal-hal baru yang dimunculkan oleh manusia
di dalam suara dan pelaksanaan ibadah adalah: bid’ah menyanyikan atau melagukan
adzan, dzikir, do`a dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
melagukan bacaan khutbah Jum’at, berdzikir dan berdo`a dengan suara keras di
sanding jenazah pada beberapa kondisi, dzikir dengan berjamaah, yaitu dzikir
jamaah di antara dua shalat tarawih, menge-raskan dzikir sewaktu keberangkatan
dan kedatangan rombongan haji, meninggikan suara sewaktu ber-ta’rif (membaca
dzikir dan do`a pada hari ‘Arafah) di berbagai tempat, berteriak sewaktu
mengucapkan âmîn di dalam shalat, bersuara nyaring sewaktu membaca ayat kursi
secara berjamaah setelah shalat, ucapan seorang muadzin (tukang adzan) dengan
suara tinggi setelah shalat: ‘Ya Allah, Engkaulah Keselamatan…..” dan meninggikan
suara sewaktu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
setelah shalat, dan lain sebagainya dari hal-hal yang bila dikerjakan dan
disuarakan merupakan perbuatan bid’ah. Atau dengan kata lain, bahwa menyuarakan
dan mengeraskannya adalah bentuk perbuatan bid’ah.
Meninggikan suara ini telah dikenal dengan nama
‘Taqlîs’. Ath-Thurthusyi di dalam kitabnya “al-Hawâdits wa al-Bida’”, hal. 63,
menuturkan bahwasanya Imam Malikrahimahullah sangat mengingkari perbuatan
‘Taqlîs’ di dalam do`a. Yaitu, meninggikan suara sewaktu berdo`a. Juga dilarang
meninggikan suara sewaktu membaca al-Qur’an, sebagaimana ketika Imam Syafi’I
rahimahullah mengungkapkan tentang Imam Abu Yusuf rahimahullah , beliau
berkata, “Abu Yusuf adalah “Qallâs”, yaitu orang yang selalu meninggikan
suaranya sewaktu membaca al-Qur’an.” Dan saya telah menjelaskan hal ini di
dalam bahasan “Bida’ al-Qurrâ’”, hal.15-16.
Sungguh, berbagai hal baru ini telah menular kepada
kalangan pengikut atsar (sunnah). Maka tidak heran jika Anda mendengar suara
sangat keras di dalam bacaan qunut oleh sebagian imam di bulan Ramadhan, suara
kadang direndahkan dan kadang dikeraskan sesuai dengan maksud dari do`anya, dan
ditambah dengan berlebih-lebihan dalam melagukannya, membaguskan bacaan
(tajwid)nya dan mentartilkannya, hingga seolah-olah dia sedang membaca satu
surat al-Qur’an. Dengan bacaan yang demikian itu, dia berupaya memancing
perasaan para makmum, agar mereka menangis.
Beribadah dengan hal-hal baru seperti itu di dalam
Islam, yaitu bid’ah-bid’ah yang ditambahkan-tambahkan pada suara dan cara
pelaksanaannya ini, asalnya bersumber dari syi’ar-syi’ar orang-orang Jahiliyah
yang pernah mereka perlihatkan di Masjidil-Haram. Sebagaimana disebutkan oleh
Allah Ta’ala –dengan nada mengingkari-,
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً
وَتَصْدِيَةً
“Sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.”
(al-Anfal: 35).
Kata “al-mukâ”, di dalam ayat ini berarti: bunyi
siulan, dan kata ‘tashdiyah’ berarti: bersorak sambil bertepuk tangan hingga
menimbulkan bunyi tepukan.
Ahli tafsir kesohor, Al-Alusi rahimahullah berkata,
“Maksudnya adalah, bahwa sejenis amalan-amalan ini bukanlah ibadah, melainkan
ia adalah syi’ar-syi’ar kaum Jahiliyah. Maka, siulan dan tepukan tangan yang
sekarang ini dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh (awam) dari kaum
muslimin di dalam masjid, yang mereka klaim sebagai ibadah dzikir kepada Allah
ta’ala, termasuk dalam kategori perbuatan orang-orang Jahiliyah. Sungguh,
alangkah indahnya ucapan seseorang yang mengatakan: “Pernahkah Allah ta’ala
mengatakan: “Bersoraklah untuk-Ku, bernyanyilah, ucapkanlah kekufuran, dan
namakan kekufuran itu sebagai dzikir.” Demikian tutur beliau.
Dan berbagai nada, suara merdu, paduan suara dan lagu
yang mengiringi dzikir dan do`a ini, menyerupai apa yang dibuat-buat oleh
orang-orang Nasrani di dalam puji-pujian mereka. Padahal, Nabi Isa ‘alaihi
sallam beserta para hawariyûn (pengikut setia beliau) tidak pernah menyuruh
mereka melakukan itu. Itu sebenarnya dibuat dan diada-adakan oleh orang-orang
nasrani, seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.
Oleh karena itu, pada saat ini, kami melihat dan
mendengar nyanyian di dalam do`a merupakan ciri khas kelompok Rafidhah dan Tarekat.
Maka, wajib bagi kaum Ahlussunnah agar menghindarkan diri dari menyerupai
perbuatan mereka.
Maulid Nabi
Maulid mempunyai arti kelahiran. Kelahiran Nabi
Muhammad SAW adalah salah satu momentum dari sekian banyak momentum sejarah
islam. Tetapi kemudian, sebenarnya dalam sejarah nabi SAW momentum tersebut
bukan hanya kelahiran Nabi. Terdapat sebuah cerita yang menarik, bahwa
sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khottob ra pernah mengalami suatu masa
bahwa beliau di kritik oleh Gubernur-nya tentang sebuah surat yang dikirim oleh
Umar bin Khottob tanpa menyertakan tanggal di dalam surat tersebut. Kritikan
tersebut di tanggapi oleh Umar bin Khottob dengan membuat sistem perhitungan
kalender secara islam. Dimana dalam proses pembuatan kalender islam tersebut
terdapat usulan bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW bisa dijadikan momentum
perhitungan kalender secara Islam. Namun ternyata usulan tersebut ditolak yang
artinya momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut tidak terlalu penting
bagi para sahabat. Dan yang kemudian dijadikan momentum dan lebih penting
adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari mekkah ke madinah. Dari hal tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak terlalu
populer bagi para sahabat. Tapi memang momentum tersebut dibenarkan kalau
dianggap penting.
Kemudian muncul pertanyaan, “Siapa sebenarnya yang
memulai perayaan Maulid?” Jika ditelusuri dari buku-buku Islam didapatken
versi-versi yang berbeda-beda. Beberapa versi diantaranya adalah :
Versi 1 – Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni 1138 – 1193
M)[1]. Shalahuddin hidup dibeberapa abad setelah kematian Nabi Muhammad SAW.
Dalam masa sekian lama, umat Islam tidak mengenal perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW. Baru pada masa Shalahuddin-lah perayaan Maulid tersebut mulai ada. Setelah
menang perang salib, Shalahuddin kemudian tinggal di Mesin yang wilayah
kekuasaan-nya sampai meliputi Libya, Tunisia, Moroko dsb[2]. Shalahuddinlah
inilah yang kemudian mengumpulkan dan menyatukan para pemuda islam di seluruh
dunia dan membentuk pasukan multi nasional milik umat islam dan mengusir
tentara salib dari Palestina. Salah satu materi kaderisasi yang menumbuhkan
semangat jihat pasukan islam tersebut adalah dengan memasukkan perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Perayaan tersebut diangkat karena bisa membakar rasa cemburu
umat Islam.
Versi 2 – Daulah Fatimiyah (Syiah 909 -1171 M)[3].
Daulah Fatimiyah memiliki daerah yang cukup luas dan berkuasa sebelum
Shalahuddin Al-Ayyubi. Di jaman inilah muncul perayaan Maulid. Daulah ini
kemudian direbut oleh Shalahuddin dan kemudian mengubahnya menjadi Sunni.
Versi 3 – Mudzaffar Qutuz (Pahlawan Perang ain
jalut)[4]
Dari ketiga versi tersebut dimungkinkan memang sebagai
cikal-bakal perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun perlu disepakati bahwa
sebelumnya terutama di jaman Nabi perayaan Maulid tersebut tidak pernah ada.
Pertanyaan yang menarik berikutnya adalah “Benarkah
Nabi SAW lahir di tanggal 12 Rabi’ul Awwal?” Ternyata tidak semua umat Islam
mengakui tanggal 12 Rabi’ul Awwal sebagai hari kelahiran NAbi Muhammad SAW.
Menurut versi Syiah, Bahwa Nabi dilahirkan hari Jumat 17 Rabi’ul Awwal, bukan
tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan menurut Versi Sunni, 12 Rabi’ul Awwal
adalah tanggal kelahiran nabi Muhammad SAW namun tidaklah mutlak di tanggal
tersebut.
Al-Barzanji (Pembaca Rawi)
Dalam syair tersebut ternyata terdapat pernyataan
tentang tanggal 12 Rabi’ul Awwwal sebagai tanggal kelahiran Nabi SAW. Artinya
bahwa perbedaan pendapat tanggal kelahiran sudah ada selain Syaih dan Sunni,
namun juga ada versi-versi yang lain.
Rasulullah sendiri juga tidak pernah menyebutkan
tanggal kelahiran-nya secara pasti, karena mungkin dianggap tidaklah momentum
terlalu penting. Dan tidak ada satu-pun hadist yang menyebutkan secara pasti
tanggal dan hari kelahiran nabi SAW. Hadist yang shahih menyebutkan bahwa
Rasulullah lahir di hari Senin. Itulah salah satu sebabnya ada puasa
Senin-Kamis.
Merayakan Maulid Hukumnya Boleh, menurut :
Al Imam As Suyuti (ahli hadist) ketika menulis dalam
kitab-nya, beliu membuat fatwa/pernyataan “adapun perbuatan menyambut Maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafus sholeh pada
300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan tersebut penuh dengan kebaikan
dan perkara-perkara yang terpuji. Jika sambutan Maulid tersebut terpelihara
dari perkara-perkara yang melanggar Syariah ,maka tergolong Bid’ah khasanah”.
Dari pernyataan tersebut bahwa para ulama sepakat dan setuju bahwa tidak ada
riwayat tentang perayaan Maulid nabi. Namun perayaan Maulid tersebut dianggap
terpuji melihat apa yang dilakukan Shalahuddin terhadap pasukan muslim dalam
membakar semangat jibat dalam berperang melawan tentara salib
Pendapat Ibnu Kattsir. Menurut Ibnu Kattsir “Abu Lahab
diringankan siksanya setiap hari Senin lantaran ikut bergembira saat kelahiran
Nabi Muhammad SAW dan membebaskan budaknya”. Ada sebuah riwayat yang disebutkan
bahwa setiap hari Senin siksaan Abu Lahab di neraka dikurangi. Sehingga menurut
Ibnu Kattsir, jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan
kekal di dalamnya diringankan siksa kuburnya setiap hari senin apalagi hamba
Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran nabi
Muhammad SAW dan meninggal dengan menyebut Ahad (Allah).
Ibnu Hajjar. Bahwa “Malam kelahiran Nabi Muhammada SAW
merupakan malam yang mulia utama dan malam yang diberkahi malam yang suci malam
yang menggembirakan bagi kaum mukminin malam yang bercahaya-cahaya
terang-benderang dan bersinar-sinar yang tidak ternilai”
Sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari
RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau
menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR
Muslim) Dari hadist tersebut dapat diambil pengertian bahwa Nabi melakukan
pengagungan pada hari kelahiran-nya dengan berpuasa Sunnah di hari Senin.
Bahkan secara tidak langsung dengan berpuasa Senin-Kamis, maka umat Islam telah
memperingati kelahiran nabi Muhammad seminggu sekali.
Hukumnya Tidak
Boleh Bahwa semua hadist tentang Maulid nabi adalah palsu,
karena maulid nabi belum ada di jaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada contoh
kongkrit dari Nabi Muhammad SAW tentang perayaan Maulid. Kebiasaan perayaan
maulid Nabi SAW ini dikhawatirkan akan seperti Nasrani menyembah Isa as, yang
lama-kelamaan menjadikan Isa sebagai tuhan mereka.
Perkara perayaan Maulid Nabi SAW sudah ada sejak jaman
dahulu antara yang menentang dengan yang mendukung. Apa yang bisa dilakukan
umat Islam yang menentang adanya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW sedangkan
dia berada dalam lingkungan yang mayoritas merayakan maulid?? Sebagai umat
Islam, hendaklah bisa menghormati satu sama lain dan tetap menjaga ukhuwah
islamiyah antar umat muslim. Karena perbedaan perayaan Maulid bukanlah
berhubungan dengan aqidah.
Bertepuk Tangan
dan Bersiul
Bertepuk
tangan dalam suatu pesta merupakan perbuatan jahiliyah, dan setidaknya perbuatan
itu adalah perbuatan yang makruh. Tetapi secara jelas dalil-dalil yang terdapat
dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan yang diharamkan
dalam agama Islam; karena kaum muslimin dilarang mengikuti ataupun menyerupai
perbuatan orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman tentang
sifat orang-orang kafir penduduk Makkah,
$tBur tb%x. öNåkèEx|¹ yYÏã ÏMøt7ø9$# wÎ) [ä!%x6ãB ZptÏóÁs?ur 4 (#qè%räsù z>#xyèø9$# $yJÎ/ óOçFZä. crãàÿõ3s? ÇÌÎÈ
sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.
Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. ( QS. Al – Anfal 35 )
Para ulama berkata, "Al-muka' mengandung
pengertian bersiul, sedangkan at-tashdiyah mengandung pengertian bertepuk
tangan. Adapun perbuatan yang disunnahkan bagi kaum muslimin adalah jika mereka
melihat atau mendengar sesuatu yang membuat mereka takjub, hendaklah mereka
mengucapkan subhanallah atau Allahu akbar sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Bertepuk tangan
hanya disyariatkan khusus bagi kaum wanita ketika mendapatkan seorang imam
melakukan suatu kesalahan di dalam shalat saat mereka melaksanakan shalat
berjamaah bersama kaum pria, maka kaum wanita disyariatkan untuk mengingatkan
kesalahan imam dengan cara bertepuk tangan, sedangkan kaum pria
memperingatkannya dengan cara bertasbih (mengucap kata subhanallah) sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Maka
jelaslah bahwa bertepuk tangan bagi kaum pria merupakan penyerupaan terhadap
perbuatan orang-orang kafir dan perbuatan wanita, sehingga bertepuk tangan
dalam suatu pesta -baik kaum pria maupun wanita- adalah dilarang menurut
syariat.
Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat kita
tarik dari sedikit catatan yang telah kami sampaikan di dalam karya tulis kami
antara lain ialah :
1.
Banyak budaya
Islam yang berkembang tidak hanya di Indonesia akan tetapi juga di berbagai
belahan dunia lain yang mengataskanamakan Islam sebagai latar belakangnya.
Padahal amal tersebut tidak pernah dicontohkan oleh Rosululah SAW.
2.
Di masa kini
sedang marak disertakannya dalil – dalil palsu yang sesungguhnya hanya dibuat
sendiri oleh si pengarang ataupun si pembuat wacana untuk menguatkan
argumentasi yang disampaikannya. Hal yang demikian inilah yang disebut
menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan pribadi.
3.
Perihal dalil –
dalil palsu yang kini tengah merajalela di kalangan umat muslim sesungguhnya
itulah salah satu bentuk dari penodaan Al – Qur’an yang pelakunya sangat
dilaknati oleh Allah SWT.
4.
Kita sebagai
umat muslim yang tak lagi awam terhadap ilmu – ilmu agama harus lebih bis
memproteksi diri dari bahaya kesyirikan yang dengan mudah dapat kita temu di
dalam perkembangan Islam di masa kini.
5.
Kita harus
mencari tahu rujukan ataupun dalil – dalil yang jelas atas setiap amalan –
amalan apa yang kita perbuatan agar kita tidak merasa ragu – ragu. Sesungguhnya
ragu – ragu itulah telah diperintahkan Allah SWT untuk ditinggalkan oleh setiap
muslim.
Saran
Seharusnya
setiap umat muslim di bumi ini menyadari bahwa dirinya adalah cipataan Allah
SWT dan Allah SWT telah memberikan kepada umat muslim di muka bumi ini sebuah
sumber ajaran kehidupan yang relevan dan terjaga kemurniannya hingga akhirul
jaman. Maka dari itu hendaknya kita berfikir atas apa yang kita perbuat dan
mencari kebenaran hukumnya di dalam Al – Qur’anul Karim sebelum menjadikannya
sebuah amalan apalagi amalan yang diistiqomahkan.
Selain
daripada itu seharusnya setiap umat muslim di muka bumi ini hendaknya selalu
menerapkan sikap saling mengingatkan dan amal ma’ruf nahi munkar. Agar kita
dapat saling menjaga dari perbuatan – perbuatan dosa yang laknati oleh Allah
SWT. Sesungguhnya saya pribadi kurang setuju dengan tindakan para kiai ataupun
ulama yang membangun pesantren – pesantren dengan tujuan memproteksi generasi
muda dari kemunkaran. Apakah yang wajib diproteksi hanya generasi muda saja?
Tidak! Seharusnya mereka tidak mengurung suatu keilmuan hanya didalam satu
wadah. Akan tetapi seharusnya mereka menyebarkannya kedalam setiap lekuk dan
konteks kehidupan umat manusia agar ilmu tersebut dapat bermanfaat sehingga
akan lebih banyak muslim yang diselamatkan dari perbuatan dosa.
Penutup
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Puji
Syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahanya
sehingga kami dapat menyelesaikan karya
tulis sederhana ini dengan baik meskipun masih jauh dari kesempurnaan.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rosulullah
SAW berserta para keluarga dan sahabatnya yang telah membantu perjuangannya
dalam berdakwah menuntun umat manusia dari jalan hidup kejahiliyahan menuju
jalan terang bendarang yang dirahmati oleh Allah SWT yaitu ‘addinul Islam.
Mungkin
hanya ini sedikit banyak ilmu yang dapat kami bagikan dengan tujuan mengajak
seluruh umat muslim dimuka bumi ini agar lebih baik lagi dalam mengamalkna ajaran
– ajaran Islam. Kami menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan
dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran pembaca untuk membuat kami lebih baik lagi di kemudian hari. Besar
harapan kami agar nantinya karya tulis yang kami buat ini dapat memberikan
manfaat dan menjauhkan kita semua dari perbuatan dosa dan sia – sia. Amin…
Wassalammu
‘alaikum wr. wb.
Sidoarjo,
Februari 2013
Penyusun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar