Sabtu, 09 Maret 2013

Hukum – Hukum Amalan Yang Tidak Pernah Dicontohkan Oleh Rosululah SAW



Tradisi Telonan, Mitoni, Tingkepan, dan Mengubur Ari – Ari.
 Telonan, Mitoni dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan [terdapat dalam Kitab Upadesa hal. 46]

Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat Saudara” [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah, air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari]
Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga oleh unsur kekuatan alam.
Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang kemudian dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan “AUM” agar sang Hyang Widhi melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda lain sebagai persembahan kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu, selama tiga bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga kepada Empat Saudara tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya juga disiramkan kepada kendil tersebut.
Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah. Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu hukumnya HARAM, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada manfa’atnya. Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang menguburkan ari-ari. Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan dengan cara tertentu, karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan kosong yang tidak ada dasarnya dalam syariah.
Kala kepercayaan ini diteruskan, pelakunya bisa terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar, karena orang yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dosa yang dibawa mati tidak akan diampuni.
¨bÎ) ©!$# Ÿw ãÏÿøótƒ br& x8uŽô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótƒur $tB tbrߊ y7Ï9ºsŒ `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8ÎŽô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #uŽtIøù$# $¸JøOÎ) $¸JŠÏàtã ÇÍÑÈ  
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS. An – Nisaa’ 48 )
Karena itu jangan sampai iman kita gugur hanya karena kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau dikubur dengan niat agar kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama halnya dengan mengubur bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu menjelma menjadi syetan, tetapi agar tidak terjadi pencemaran. Cara yang paling aman dan mudah adalah dengan menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk dikuburkan di dalam tanah. Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam kepercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.
Akan sangat disesalkan jika seseorang terjatuh ke dalam syirik tanpa dia sadari, dia melakukan perbuatan sekedar ikut-ikutan tanpa mengetahui bahwa hal tersebut adalah perkara yang dilarang.
Menyanyikan Atau Melagukan Dzikir Dan Do`a
Di antara hal-hal baru yang dimunculkan oleh manusia di dalam suara dan pelaksanaan ibadah adalah: bid’ah menyanyikan atau melagukan adzan, dzikir, do`a dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melagukan bacaan khutbah Jum’at, berdzikir dan berdo`a dengan suara keras di sanding jenazah pada beberapa kondisi, dzikir dengan berjamaah, yaitu dzikir jamaah di antara dua shalat tarawih, menge-raskan dzikir sewaktu keberangkatan dan kedatangan rombongan haji, meninggikan suara sewaktu ber-ta’rif (membaca dzikir dan do`a pada hari ‘Arafah) di berbagai tempat, berteriak sewaktu mengucapkan âmîn di dalam shalat, bersuara nyaring sewaktu membaca ayat kursi secara berjamaah setelah shalat, ucapan seorang muadzin (tukang adzan) dengan suara tinggi setelah shalat: ‘Ya Allah, Engkaulah Keselamatan…..” dan meninggikan suara sewaktu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah shalat, dan lain sebagainya dari hal-hal yang bila dikerjakan dan disuarakan merupakan perbuatan bid’ah. Atau dengan kata lain, bahwa menyuarakan dan mengeraskannya adalah bentuk perbuatan bid’ah.

Meninggikan suara ini telah dikenal dengan nama ‘Taqlîs’. Ath-Thurthusyi di dalam kitabnya “al-Hawâdits wa al-Bida’”, hal. 63, menuturkan bahwasanya Imam Malikrahimahullah sangat mengingkari perbuatan ‘Taqlîs’ di dalam do`a. Yaitu, meninggikan suara sewaktu berdo`a. Juga dilarang meninggikan suara sewaktu membaca al-Qur’an, sebagaimana ketika Imam Syafi’I rahimahullah mengungkapkan tentang Imam Abu Yusuf rahimahullah , beliau berkata, “Abu Yusuf adalah “Qallâs”, yaitu orang yang selalu meninggikan suaranya sewaktu membaca al-Qur’an.” Dan saya telah menjelaskan hal ini di dalam bahasan “Bida’ al-Qurrâ’”, hal.15-16.
Sungguh, berbagai hal baru ini telah menular kepada kalangan pengikut atsar (sunnah). Maka tidak heran jika Anda mendengar suara sangat keras di dalam bacaan qunut oleh sebagian imam di bulan Ramadhan, suara kadang direndahkan dan kadang dikeraskan sesuai dengan maksud dari do`anya, dan ditambah dengan berlebih-lebihan dalam melagukannya, membaguskan bacaan (tajwid)nya dan mentartilkannya, hingga seolah-olah dia sedang membaca satu surat al-Qur’an. Dengan bacaan yang demikian itu, dia berupaya memancing perasaan para makmum, agar mereka menangis.
Beribadah dengan hal-hal baru seperti itu di dalam Islam, yaitu bid’ah-bid’ah yang ditambahkan-tambahkan pada suara dan cara pelaksanaannya ini, asalnya bersumber dari syi’ar-syi’ar orang-orang Jahiliyah yang pernah mereka perlihatkan di Masjidil-Haram. Sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta’ala –dengan nada mengingkari-,
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً وَتَصْدِيَةً
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (al-Anfal: 35).
Kata “al-mukâ”, di dalam ayat ini berarti: bunyi siulan, dan kata ‘tashdiyah’ berarti: bersorak sambil bertepuk tangan hingga menimbulkan bunyi tepukan.
Ahli tafsir kesohor, Al-Alusi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah, bahwa sejenis amalan-amalan ini bukanlah ibadah, melainkan ia adalah syi’ar-syi’ar kaum Jahiliyah. Maka, siulan dan tepukan tangan yang sekarang ini dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh (awam) dari kaum muslimin di dalam masjid, yang mereka klaim sebagai ibadah dzikir kepada Allah ta’ala, termasuk dalam kategori perbuatan orang-orang Jahiliyah. Sungguh, alangkah indahnya ucapan seseorang yang mengatakan: “Pernahkah Allah ta’ala mengatakan: “Bersoraklah untuk-Ku, bernyanyilah, ucapkanlah kekufuran, dan namakan kekufuran itu sebagai dzikir.” Demikian tutur beliau.
Dan berbagai nada, suara merdu, paduan suara dan lagu yang mengiringi dzikir dan do`a ini, menyerupai apa yang dibuat-buat oleh orang-orang Nasrani di dalam puji-pujian mereka. Padahal, Nabi Isa ‘alaihi sallam beserta para hawariyûn (pengikut setia beliau) tidak pernah menyuruh mereka melakukan itu. Itu sebenarnya dibuat dan diada-adakan oleh orang-orang nasrani, seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Oleh karena itu, pada saat ini, kami melihat dan mendengar nyanyian di dalam do`a merupakan ciri khas kelompok Rafidhah dan Tarekat. Maka, wajib bagi kaum Ahlussunnah agar menghindarkan diri dari menyerupai perbuatan mereka.
Maulid Nabi
Maulid mempunyai arti kelahiran. Kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah salah satu momentum dari sekian banyak momentum sejarah islam. Tetapi kemudian, sebenarnya dalam sejarah nabi SAW momentum tersebut bukan hanya kelahiran Nabi. Terdapat sebuah cerita yang menarik, bahwa sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khottob ra pernah mengalami suatu masa bahwa beliau di kritik oleh Gubernur-nya tentang sebuah surat yang dikirim oleh Umar bin Khottob tanpa menyertakan tanggal di dalam surat tersebut. Kritikan tersebut di tanggapi oleh Umar bin Khottob dengan membuat sistem perhitungan kalender secara islam. Dimana dalam proses pembuatan kalender islam tersebut terdapat usulan bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW bisa dijadikan momentum perhitungan kalender secara Islam. Namun ternyata usulan tersebut ditolak yang artinya momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut tidak terlalu penting bagi para sahabat. Dan yang kemudian dijadikan momentum dan lebih penting adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari mekkah ke madinah. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak terlalu populer bagi para sahabat. Tapi memang momentum tersebut dibenarkan kalau dianggap penting.
Kemudian muncul pertanyaan, “Siapa sebenarnya yang memulai perayaan Maulid?” Jika ditelusuri dari buku-buku Islam didapatken versi-versi yang berbeda-beda. Beberapa versi diantaranya adalah :
Versi 1 – Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni 1138 – 1193 M)[1]. Shalahuddin hidup dibeberapa abad setelah kematian Nabi Muhammad SAW. Dalam masa sekian lama, umat Islam tidak mengenal perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Baru pada masa Shalahuddin-lah perayaan Maulid tersebut mulai ada. Setelah menang perang salib, Shalahuddin kemudian tinggal di Mesin yang wilayah kekuasaan-nya sampai meliputi Libya, Tunisia, Moroko dsb[2]. Shalahuddinlah inilah yang kemudian mengumpulkan dan menyatukan para pemuda islam di seluruh dunia dan membentuk pasukan multi nasional milik umat islam dan mengusir tentara salib dari Palestina. Salah satu materi kaderisasi yang menumbuhkan semangat jihat pasukan islam tersebut adalah dengan memasukkan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan tersebut diangkat karena bisa membakar rasa cemburu umat Islam.
Versi 2 – Daulah Fatimiyah (Syiah 909 -1171 M)[3]. Daulah Fatimiyah memiliki daerah yang cukup luas dan berkuasa sebelum Shalahuddin Al-Ayyubi. Di jaman inilah muncul perayaan Maulid. Daulah ini kemudian direbut oleh Shalahuddin dan kemudian mengubahnya menjadi Sunni.
Versi 3 – Mudzaffar Qutuz (Pahlawan Perang ain jalut)[4]
Dari ketiga versi tersebut dimungkinkan memang sebagai cikal-bakal perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun perlu disepakati bahwa sebelumnya terutama di jaman Nabi perayaan Maulid tersebut tidak pernah ada.
Pertanyaan yang menarik berikutnya adalah “Benarkah Nabi SAW lahir di tanggal 12 Rabi’ul Awwal?” Ternyata tidak semua umat Islam mengakui tanggal 12 Rabi’ul Awwal sebagai hari kelahiran NAbi Muhammad SAW. Menurut versi Syiah, Bahwa Nabi dilahirkan hari Jumat 17 Rabi’ul Awwal, bukan tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan menurut Versi Sunni, 12 Rabi’ul Awwal adalah tanggal kelahiran nabi Muhammad SAW namun tidaklah mutlak di tanggal tersebut.
Al-Barzanji (Pembaca Rawi)
Dalam syair tersebut ternyata terdapat pernyataan tentang tanggal 12 Rabi’ul Awwwal sebagai tanggal kelahiran Nabi SAW. Artinya bahwa perbedaan pendapat tanggal kelahiran sudah ada selain Syaih dan Sunni, namun juga ada versi-versi yang lain.
Rasulullah sendiri juga tidak pernah menyebutkan tanggal kelahiran-nya secara pasti, karena mungkin dianggap tidaklah momentum terlalu penting. Dan tidak ada satu-pun hadist yang menyebutkan secara pasti tanggal dan hari kelahiran nabi SAW. Hadist yang shahih menyebutkan bahwa Rasulullah lahir di hari Senin. Itulah salah satu sebabnya ada puasa Senin-Kamis.
Merayakan Maulid Hukumnya Boleh, menurut :
Al Imam As Suyuti (ahli hadist) ketika menulis dalam kitab-nya, beliu membuat fatwa/pernyataan “adapun perbuatan menyambut Maulid merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafus sholeh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan tersebut penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji. Jika sambutan Maulid tersebut terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar Syariah ,maka tergolong Bid’ah khasanah”. Dari pernyataan tersebut bahwa para ulama sepakat dan setuju bahwa tidak ada riwayat tentang perayaan Maulid nabi. Namun perayaan Maulid tersebut dianggap terpuji melihat apa yang dilakukan Shalahuddin terhadap pasukan muslim dalam membakar semangat jibat dalam berperang melawan tentara salib
Pendapat Ibnu Kattsir. Menurut Ibnu Kattsir “Abu Lahab diringankan siksanya setiap hari Senin lantaran ikut bergembira saat kelahiran Nabi Muhammad SAW dan membebaskan budaknya”. Ada sebuah riwayat yang disebutkan bahwa setiap hari Senin siksaan Abu Lahab di neraka dikurangi. Sehingga menurut Ibnu Kattsir, jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya diringankan siksa kuburnya setiap hari senin apalagi hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran nabi Muhammad SAW dan meninggal dengan menyebut Ahad (Allah).
Ibnu Hajjar. Bahwa “Malam kelahiran Nabi Muhammada SAW merupakan malam yang mulia utama dan malam yang diberkahi malam yang suci malam yang menggembirakan bagi kaum mukminin malam yang bercahaya-cahaya terang-benderang dan bersinar-sinar yang tidak ternilai”
Sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR Muslim) Dari hadist tersebut dapat diambil pengertian bahwa Nabi melakukan pengagungan pada hari kelahiran-nya dengan berpuasa Sunnah di hari Senin. Bahkan secara tidak langsung dengan berpuasa Senin-Kamis, maka umat Islam telah memperingati kelahiran nabi Muhammad seminggu sekali.
Hukumnya Tidak Boleh Bahwa semua hadist tentang Maulid nabi adalah palsu, karena maulid nabi belum ada di jaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada contoh kongkrit dari Nabi Muhammad SAW tentang perayaan Maulid. Kebiasaan perayaan maulid Nabi SAW ini dikhawatirkan akan seperti Nasrani menyembah Isa as, yang lama-kelamaan menjadikan Isa sebagai tuhan mereka.
Perkara perayaan Maulid Nabi SAW sudah ada sejak jaman dahulu antara yang menentang dengan yang mendukung. Apa yang bisa dilakukan umat Islam yang menentang adanya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW sedangkan dia berada dalam lingkungan yang mayoritas merayakan maulid?? Sebagai umat Islam, hendaklah bisa menghormati satu sama lain dan tetap menjaga ukhuwah islamiyah antar umat muslim. Karena perbedaan perayaan Maulid bukanlah berhubungan dengan aqidah.
Bertepuk Tangan dan Bersiul
            Bertepuk tangan dalam suatu pesta merupakan perbuatan jahiliyah, dan setidaknya perbuatan itu adalah perbuatan yang makruh. Tetapi secara jelas dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan yang diharamkan dalam agama Islam; karena kaum muslimin dilarang mengikuti ataupun menyerupai perbuatan orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman tentang sifat orang-orang kafir penduduk Makkah,
$tBur tb%x. öNåkèEŸx|¹ yYÏã ÏMøt7ø9$# žwÎ) [ä!%x6ãB ZptƒÏóÁs?ur 4 (#qè%räsù z>#xyèø9$# $yJÎ/ óOçFZä. šcrãàÿõ3s? ÇÌÎÈ  
sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. ( QS. Al – Anfal 35 )
Para ulama berkata, "Al-muka' mengandung pengertian bersiul, sedangkan at-tashdiyah mengandung pengertian bertepuk tangan. Adapun perbuatan yang disunnahkan bagi kaum muslimin adalah jika mereka melihat atau mendengar sesuatu yang membuat mereka takjub, hendaklah mereka mengucapkan subhanallah atau Allahu akbar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Bertepuk tangan hanya disyariatkan khusus bagi kaum wanita ketika mendapatkan seorang imam melakukan suatu kesalahan di dalam shalat saat mereka melaksanakan shalat berjamaah bersama kaum pria, maka kaum wanita disyariatkan untuk mengingatkan kesalahan imam dengan cara bertepuk tangan, sedangkan kaum pria memperingatkannya dengan cara bertasbih (mengucap kata subhanallah) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Maka jelaslah bahwa bertepuk tangan bagi kaum pria merupakan penyerupaan terhadap perbuatan orang-orang kafir dan perbuatan wanita, sehingga bertepuk tangan dalam suatu pesta -baik kaum pria maupun wanita- adalah dilarang menurut syariat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar