Tradisi Telonan,
Mitoni, Tingkepan, dan Mengubur Ari – Ari.
Telonan, Mitoni
dan Tingkepan yang sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat adalah
tradisi masyarakat Hindu. Upacara ini dilakukan dalam rangka memohon
keselamatan anak yang ada di dalam rahim (kandungan). Upacara ini biasa disebut
Garba Wedana [garba : perut, Wedana : sedang mengandung]. Selama bayi dalam
kandungan dibuatkan tumpeng selamatan Telonan, Mitoni, Tingkepan [terdapat
dalam Kitab Upadesa hal. 46]
Intisari dari sesajinya adalah :
1. Pengambean, yaitu upacara pemanggilan atman (urip).
2. Sambutan, yaitu upacara penyambutan atau peneguhan
letak atman (urip) si jabang bayi.
3. Janganan, yaitu upacara suguhan terhadap “Empat
Saudara” [sedulur papat] yang menyertai kelahiran sang bayi, yaitu : darah,
air, barah, dan ari-ari. [orang Jawa menyebut : kakang kawah adi ari-ari]
Hal ini dilakukan untuk panggilan kepada semua
kekuatan-kekuatan alam yang tidak kelihatan tapi mempunyai hubungan langsung
pada kehidupan sang bayi dan juga pada panggilan kepada Empat Saudara yang
bersama-sama ketika sang bayi dilahirkan, untuk bersama-sama diupacarai, diberi
pensucian dan suguhan agar sang bayi mendapat keselamatan dan selalu dijaga
oleh unsur kekuatan alam.
Sedangkan upacara terhadap ari-ari, ialah setelah
ari-ari terlepas dari si bayi lalu dibersihkan dengan air yang kemudian
dimasukkan ke dalam tempurung kelapa selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil
atau guci. Ke dalamnya dimasukkah tulisan “AUM” agar sang Hyang Widhi
melindungi. Selain itu dimasukkan juga berbagai benda lain sebagai persembahan
kepada Hyang Widhi. Kendil kemudian ditanam di pekarangan, di kanan pintu
apabila bayinya laki-laki, di kiri pintu apabila bayinya perempuan. Kendil yang
berisi ari-ari ditimbun dengan baik, dan pada malam harinya diberi lampu,
selama tiga bulan. Apa yang diperbuat kepada si bayi maka diberlakukan juga
kepada Empat Saudara tersebut. Kalau si bayi setelah dimandikan, maka airnya
juga disiramkan kepada kendil tersebut.
Menanam ari-ari (masyimah/tembuni) hukumnya sunnah.
Adapun menyalakan lilin (lampu) dan menaburkan bunga-bunga di atasnya itu
hukumnya HARAM, karena membuang-buang harta (tabzir) yang tidak ada
manfa’atnya. Tidak ada aturan dalam syariah Islam tentang menguburkan ari-ari.
Sedangkan kepercayaan bahwa ari-ari harus diperlakukan dengan cara tertentu,
karena berpengaruh kepada bayi, hanyalah kepercayaan kosong yang tidak ada
dasarnya dalam syariah.
Kala kepercayaan ini diteruskan, pelakunya bisa
terjerumus ke dalam lembah syirik. Resikonya tentu sangat besar, karena orang
yang mati dalam keadaaan syirik, dosa-dosa yang dibawa mati tidak akan
diampuni.
¨bÎ) ©!$# w ãÏÿøót br& x8uô³ç ¾ÏmÎ/ ãÏÿøótur $tB tbrß y7Ï9ºs `yJÏ9 âä!$t±o 4 `tBur õ8Îô³ç «!$$Î/ Ïs)sù #utIøù$# $¸JøOÎ) $¸JÏàtã ÇÍÑÈ
Sesungguhnya Allah tidak
akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik)
itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah,
Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS. An – Nisaa’ 48 )
Karena itu jangan sampai iman kita gugur hanya karena
kepercayaan salah tentang ari-ari. Cukup dibuang atau dikubur dengan niat agar
kalau membusuk, tidak membahayakan manusia. Sama halnya dengan mengubur
bangkai, perlu dikubur bukan karena takut bangkai itu menjelma menjadi syetan,
tetapi agar tidak terjadi pencemaran. Cara yang paling aman dan mudah adalah
dengan menguburnya di dalam tanah. Demikian juga ar-ari, boleh hukumnya untuk
dikuburkan di dalam tanah. Tapi haram hukumnya kalau diikuti dengan beragam
kepercayaan terhadap mitos-mitos tertentu tentang ari-ari.
Akan sangat disesalkan jika seseorang terjatuh ke
dalam syirik tanpa dia sadari, dia melakukan perbuatan sekedar ikut-ikutan
tanpa mengetahui bahwa hal tersebut adalah perkara yang dilarang.
Menyanyikan Atau
Melagukan Dzikir Dan Do`a
Di antara hal-hal baru yang dimunculkan oleh manusia
di dalam suara dan pelaksanaan ibadah adalah: bid’ah menyanyikan atau melagukan
adzan, dzikir, do`a dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
melagukan bacaan khutbah Jum’at, berdzikir dan berdo`a dengan suara keras di
sanding jenazah pada beberapa kondisi, dzikir dengan berjamaah, yaitu dzikir
jamaah di antara dua shalat tarawih, menge-raskan dzikir sewaktu keberangkatan
dan kedatangan rombongan haji, meninggikan suara sewaktu ber-ta’rif (membaca
dzikir dan do`a pada hari ‘Arafah) di berbagai tempat, berteriak sewaktu
mengucapkan âmîn di dalam shalat, bersuara nyaring sewaktu membaca ayat kursi
secara berjamaah setelah shalat, ucapan seorang muadzin (tukang adzan) dengan
suara tinggi setelah shalat: ‘Ya Allah, Engkaulah Keselamatan…..” dan meninggikan
suara sewaktu mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
setelah shalat, dan lain sebagainya dari hal-hal yang bila dikerjakan dan
disuarakan merupakan perbuatan bid’ah. Atau dengan kata lain, bahwa menyuarakan
dan mengeraskannya adalah bentuk perbuatan bid’ah.
Meninggikan suara ini telah dikenal dengan nama
‘Taqlîs’. Ath-Thurthusyi di dalam kitabnya “al-Hawâdits wa al-Bida’”, hal. 63,
menuturkan bahwasanya Imam Malikrahimahullah sangat mengingkari perbuatan
‘Taqlîs’ di dalam do`a. Yaitu, meninggikan suara sewaktu berdo`a. Juga dilarang
meninggikan suara sewaktu membaca al-Qur’an, sebagaimana ketika Imam Syafi’I
rahimahullah mengungkapkan tentang Imam Abu Yusuf rahimahullah , beliau
berkata, “Abu Yusuf adalah “Qallâs”, yaitu orang yang selalu meninggikan
suaranya sewaktu membaca al-Qur’an.” Dan saya telah menjelaskan hal ini di
dalam bahasan “Bida’ al-Qurrâ’”, hal.15-16.
Sungguh, berbagai hal baru ini telah menular kepada
kalangan pengikut atsar (sunnah). Maka tidak heran jika Anda mendengar suara
sangat keras di dalam bacaan qunut oleh sebagian imam di bulan Ramadhan, suara
kadang direndahkan dan kadang dikeraskan sesuai dengan maksud dari do`anya, dan
ditambah dengan berlebih-lebihan dalam melagukannya, membaguskan bacaan
(tajwid)nya dan mentartilkannya, hingga seolah-olah dia sedang membaca satu
surat al-Qur’an. Dengan bacaan yang demikian itu, dia berupaya memancing
perasaan para makmum, agar mereka menangis.
Beribadah dengan hal-hal baru seperti itu di dalam
Islam, yaitu bid’ah-bid’ah yang ditambahkan-tambahkan pada suara dan cara
pelaksanaannya ini, asalnya bersumber dari syi’ar-syi’ar orang-orang Jahiliyah
yang pernah mereka perlihatkan di Masjidil-Haram. Sebagaimana disebutkan oleh
Allah Ta’ala –dengan nada mengingkari-,
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَآءً
وَتَصْدِيَةً
“Sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.”
(al-Anfal: 35).
Kata “al-mukâ”, di dalam ayat ini berarti: bunyi
siulan, dan kata ‘tashdiyah’ berarti: bersorak sambil bertepuk tangan hingga
menimbulkan bunyi tepukan.
Ahli tafsir kesohor, Al-Alusi rahimahullah berkata,
“Maksudnya adalah, bahwa sejenis amalan-amalan ini bukanlah ibadah, melainkan
ia adalah syi’ar-syi’ar kaum Jahiliyah. Maka, siulan dan tepukan tangan yang
sekarang ini dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh (awam) dari kaum
muslimin di dalam masjid, yang mereka klaim sebagai ibadah dzikir kepada Allah
ta’ala, termasuk dalam kategori perbuatan orang-orang Jahiliyah. Sungguh,
alangkah indahnya ucapan seseorang yang mengatakan: “Pernahkah Allah ta’ala
mengatakan: “Bersoraklah untuk-Ku, bernyanyilah, ucapkanlah kekufuran, dan
namakan kekufuran itu sebagai dzikir.” Demikian tutur beliau.
Dan berbagai nada, suara merdu, paduan suara dan lagu
yang mengiringi dzikir dan do`a ini, menyerupai apa yang dibuat-buat oleh
orang-orang Nasrani di dalam puji-pujian mereka. Padahal, Nabi Isa ‘alaihi
sallam beserta para hawariyûn (pengikut setia beliau) tidak pernah menyuruh
mereka melakukan itu. Itu sebenarnya dibuat dan diada-adakan oleh orang-orang
nasrani, seperti yang pernah dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah.
Oleh karena itu, pada saat ini, kami melihat dan
mendengar nyanyian di dalam do`a merupakan ciri khas kelompok Rafidhah dan Tarekat.
Maka, wajib bagi kaum Ahlussunnah agar menghindarkan diri dari menyerupai
perbuatan mereka.
Maulid Nabi
Maulid mempunyai arti kelahiran. Kelahiran Nabi
Muhammad SAW adalah salah satu momentum dari sekian banyak momentum sejarah
islam. Tetapi kemudian, sebenarnya dalam sejarah nabi SAW momentum tersebut
bukan hanya kelahiran Nabi. Terdapat sebuah cerita yang menarik, bahwa
sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khottob ra pernah mengalami suatu masa
bahwa beliau di kritik oleh Gubernur-nya tentang sebuah surat yang dikirim oleh
Umar bin Khottob tanpa menyertakan tanggal di dalam surat tersebut. Kritikan
tersebut di tanggapi oleh Umar bin Khottob dengan membuat sistem perhitungan
kalender secara islam. Dimana dalam proses pembuatan kalender islam tersebut
terdapat usulan bahwa lahirnya Nabi Muhammad SAW bisa dijadikan momentum
perhitungan kalender secara Islam. Namun ternyata usulan tersebut ditolak yang
artinya momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut tidak terlalu penting
bagi para sahabat. Dan yang kemudian dijadikan momentum dan lebih penting
adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari mekkah ke madinah. Dari hal tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW tidak terlalu
populer bagi para sahabat. Tapi memang momentum tersebut dibenarkan kalau
dianggap penting.
Kemudian muncul pertanyaan, “Siapa sebenarnya yang
memulai perayaan Maulid?” Jika ditelusuri dari buku-buku Islam didapatken
versi-versi yang berbeda-beda. Beberapa versi diantaranya adalah :
Versi 1 – Shalahuddin Al-Ayyubi (Sunni 1138 – 1193
M)[1]. Shalahuddin hidup dibeberapa abad setelah kematian Nabi Muhammad SAW.
Dalam masa sekian lama, umat Islam tidak mengenal perayaan Maulid Nabi Muhammad
SAW. Baru pada masa Shalahuddin-lah perayaan Maulid tersebut mulai ada. Setelah
menang perang salib, Shalahuddin kemudian tinggal di Mesin yang wilayah
kekuasaan-nya sampai meliputi Libya, Tunisia, Moroko dsb[2]. Shalahuddinlah
inilah yang kemudian mengumpulkan dan menyatukan para pemuda islam di seluruh
dunia dan membentuk pasukan multi nasional milik umat islam dan mengusir
tentara salib dari Palestina. Salah satu materi kaderisasi yang menumbuhkan
semangat jihat pasukan islam tersebut adalah dengan memasukkan perayaan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Perayaan tersebut diangkat karena bisa membakar rasa cemburu
umat Islam.
Versi 2 – Daulah Fatimiyah (Syiah 909 -1171 M)[3].
Daulah Fatimiyah memiliki daerah yang cukup luas dan berkuasa sebelum
Shalahuddin Al-Ayyubi. Di jaman inilah muncul perayaan Maulid. Daulah ini
kemudian direbut oleh Shalahuddin dan kemudian mengubahnya menjadi Sunni.
Versi 3 – Mudzaffar Qutuz (Pahlawan Perang ain
jalut)[4]
Dari ketiga versi tersebut dimungkinkan memang sebagai
cikal-bakal perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun perlu disepakati bahwa
sebelumnya terutama di jaman Nabi perayaan Maulid tersebut tidak pernah ada.
Pertanyaan yang menarik berikutnya adalah “Benarkah
Nabi SAW lahir di tanggal 12 Rabi’ul Awwal?” Ternyata tidak semua umat Islam
mengakui tanggal 12 Rabi’ul Awwal sebagai hari kelahiran NAbi Muhammad SAW.
Menurut versi Syiah, Bahwa Nabi dilahirkan hari Jumat 17 Rabi’ul Awwal, bukan
tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Sedangkan menurut Versi Sunni, 12 Rabi’ul Awwal
adalah tanggal kelahiran nabi Muhammad SAW namun tidaklah mutlak di tanggal
tersebut.
Al-Barzanji (Pembaca Rawi)
Dalam syair tersebut ternyata terdapat pernyataan
tentang tanggal 12 Rabi’ul Awwwal sebagai tanggal kelahiran Nabi SAW. Artinya
bahwa perbedaan pendapat tanggal kelahiran sudah ada selain Syaih dan Sunni,
namun juga ada versi-versi yang lain.
Rasulullah sendiri juga tidak pernah menyebutkan
tanggal kelahiran-nya secara pasti, karena mungkin dianggap tidaklah momentum
terlalu penting. Dan tidak ada satu-pun hadist yang menyebutkan secara pasti
tanggal dan hari kelahiran nabi SAW. Hadist yang shahih menyebutkan bahwa
Rasulullah lahir di hari Senin. Itulah salah satu sebabnya ada puasa
Senin-Kamis.
Merayakan Maulid Hukumnya Boleh, menurut :
Al Imam As Suyuti (ahli hadist) ketika menulis dalam
kitab-nya, beliu membuat fatwa/pernyataan “adapun perbuatan menyambut Maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafus sholeh pada
300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan tersebut penuh dengan kebaikan
dan perkara-perkara yang terpuji. Jika sambutan Maulid tersebut terpelihara
dari perkara-perkara yang melanggar Syariah ,maka tergolong Bid’ah khasanah”.
Dari pernyataan tersebut bahwa para ulama sepakat dan setuju bahwa tidak ada
riwayat tentang perayaan Maulid nabi. Namun perayaan Maulid tersebut dianggap
terpuji melihat apa yang dilakukan Shalahuddin terhadap pasukan muslim dalam
membakar semangat jibat dalam berperang melawan tentara salib
Pendapat Ibnu Kattsir. Menurut Ibnu Kattsir “Abu Lahab
diringankan siksanya setiap hari Senin lantaran ikut bergembira saat kelahiran
Nabi Muhammad SAW dan membebaskan budaknya”. Ada sebuah riwayat yang disebutkan
bahwa setiap hari Senin siksaan Abu Lahab di neraka dikurangi. Sehingga menurut
Ibnu Kattsir, jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan
kekal di dalamnya diringankan siksa kuburnya setiap hari senin apalagi hamba
Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur dengan kehadiran nabi
Muhammad SAW dan meninggal dengan menyebut Ahad (Allah).
Ibnu Hajjar. Bahwa “Malam kelahiran Nabi Muhammada SAW
merupakan malam yang mulia utama dan malam yang diberkahi malam yang suci malam
yang menggembirakan bagi kaum mukminin malam yang bercahaya-cahaya
terang-benderang dan bersinar-sinar yang tidak ternilai”
Sebuah Hadist yang diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari
RA bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Senin. Maka beliau
menjawab, “Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (HR
Muslim) Dari hadist tersebut dapat diambil pengertian bahwa Nabi melakukan
pengagungan pada hari kelahiran-nya dengan berpuasa Sunnah di hari Senin.
Bahkan secara tidak langsung dengan berpuasa Senin-Kamis, maka umat Islam telah
memperingati kelahiran nabi Muhammad seminggu sekali.
Hukumnya Tidak
Boleh Bahwa semua hadist tentang Maulid nabi adalah palsu,
karena maulid nabi belum ada di jaman Nabi Muhammad SAW. Tidak ada contoh
kongkrit dari Nabi Muhammad SAW tentang perayaan Maulid. Kebiasaan perayaan
maulid Nabi SAW ini dikhawatirkan akan seperti Nasrani menyembah Isa as, yang
lama-kelamaan menjadikan Isa sebagai tuhan mereka.
Perkara perayaan Maulid Nabi SAW sudah ada sejak jaman
dahulu antara yang menentang dengan yang mendukung. Apa yang bisa dilakukan
umat Islam yang menentang adanya perayaan maulid Nabi Muhammad SAW sedangkan
dia berada dalam lingkungan yang mayoritas merayakan maulid?? Sebagai umat
Islam, hendaklah bisa menghormati satu sama lain dan tetap menjaga ukhuwah
islamiyah antar umat muslim. Karena perbedaan perayaan Maulid bukanlah
berhubungan dengan aqidah.
Bertepuk Tangan
dan Bersiul
Bertepuk
tangan dalam suatu pesta merupakan perbuatan jahiliyah, dan setidaknya perbuatan
itu adalah perbuatan yang makruh. Tetapi secara jelas dalil-dalil yang terdapat
dalam al-Qur'an menunjukkan bahwa hal itu adalah perbuatan yang diharamkan
dalam agama Islam; karena kaum muslimin dilarang mengikuti ataupun menyerupai
perbuatan orang-orang kafir. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah berfirman tentang
sifat orang-orang kafir penduduk Makkah,
$tBur tb%x. öNåkèEx|¹ yYÏã ÏMøt7ø9$# wÎ) [ä!%x6ãB ZptÏóÁs?ur 4 (#qè%räsù z>#xyèø9$# $yJÎ/ óOçFZä. crãàÿõ3s? ÇÌÎÈ
sembahyang
mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan.
Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. ( QS. Al – Anfal 35 )
Para ulama berkata, "Al-muka' mengandung
pengertian bersiul, sedangkan at-tashdiyah mengandung pengertian bertepuk
tangan. Adapun perbuatan yang disunnahkan bagi kaum muslimin adalah jika mereka
melihat atau mendengar sesuatu yang membuat mereka takjub, hendaklah mereka
mengucapkan subhanallah atau Allahu akbar sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Bertepuk tangan
hanya disyariatkan khusus bagi kaum wanita ketika mendapatkan seorang imam
melakukan suatu kesalahan di dalam shalat saat mereka melaksanakan shalat
berjamaah bersama kaum pria, maka kaum wanita disyariatkan untuk mengingatkan
kesalahan imam dengan cara bertepuk tangan, sedangkan kaum pria
memperingatkannya dengan cara bertasbih (mengucap kata subhanallah) sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits dari Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam . Maka
jelaslah bahwa bertepuk tangan bagi kaum pria merupakan penyerupaan terhadap
perbuatan orang-orang kafir dan perbuatan wanita, sehingga bertepuk tangan
dalam suatu pesta -baik kaum pria maupun wanita- adalah dilarang menurut
syariat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar