Dua
pekan menjalani hari – hari di Kampung Inggris rasanya telah membuatku
terkontaminasi euforia pesona sudut kota Pare yang menawan ini. Setidaknya hal
itu terjadi karenakan banyak hal yang telah kudapat disini. Ilmu, persahabatan,
dan “cinta”. Ngomong – ngomong soal cinta aku teringat suatu kejadian kecil
yang kualami pada hari terakhir keberadaanku di kota sejuta cerita ini.
Siang
itu adalah akhir pekan yang terik. Seperti biasa, aku dan kawan – kawanku di
dormitory female 2 terhipnotis suasana akhir pekan yang menggoda. Ya... kami
semua tergoda oleh buaian kotak pipih empuk yang biasa kami sebut kasur. Tak
sedikit dari kami yang
menghabiskan hampir setengah hari sabtu terik kami diatas kasur. Kurang lebih begitu pula yang kulakukan. Namun siang ini aku lebih tergoda untuk mengutak – atik komputer jinjingku diatas kasur empuk ini ketimbang memilih untuk terlelap menjelajahi alam mimpi. Aku terlarut memandangi momen – momen terakhirku bersama kawan – kawan seperjuanganku yang terekam pada lukisan – lukisan elektronik dilayar datar ini. Ya... setelah aku memindahnya dari telephone genggamku tentunya. Dan disana juga tersimpan wajahnya. Dia yang membuatku terkagum – kagum, awalnya. Dan mungkin akhirnya aku jatuh cinta padanya. Entahlah...
menghabiskan hampir setengah hari sabtu terik kami diatas kasur. Kurang lebih begitu pula yang kulakukan. Namun siang ini aku lebih tergoda untuk mengutak – atik komputer jinjingku diatas kasur empuk ini ketimbang memilih untuk terlelap menjelajahi alam mimpi. Aku terlarut memandangi momen – momen terakhirku bersama kawan – kawan seperjuanganku yang terekam pada lukisan – lukisan elektronik dilayar datar ini. Ya... setelah aku memindahnya dari telephone genggamku tentunya. Dan disana juga tersimpan wajahnya. Dia yang membuatku terkagum – kagum, awalnya. Dan mungkin akhirnya aku jatuh cinta padanya. Entahlah...
Management file sudah beres ku kira? Aku
memutuskan untuk menjinjing besi berwarna coklat ini keluar ruangan untuk
mendapatkan sinyal wi – fi. Aku ingin membagikannya di akun jejaring sosialku,
setidaknya agar aku dapat melihatnya kapanpun saat aku berselancar disana.
Belum genap 5 menit aku mengambil posisi dibelakang meja office dormitory yang
tak lagi terpakai ini. Tiba – tiba, sosoknya muncul memasuki gerbang
dormitoryku, berbelok menuju sudut kantin dormitory dan mengambil posisi
disebelah kawan lelakinya. Perasaanku membuncah, padahal aku telah bertekad
untuk tak menemuinya di hari terakhirku disini. Aku takut aku takkan bisa
setegar baja saat aku harus menerima kenyataan bahwa inilah saat terakhirku
dapat memandanginya. Entahlah darimana mulutku sekejap terbuka dan memanggil
namanya, buku miliknya yang masih berada ditanganku tiba – tiba saja terbersit
untuk menjadi alasan bagiku agar aku dapat sekedar bercakap dengannya, mungkin
untuk terakhir kalinya.
Aku
segera berlari menuju ruang tidurku saat kuyakini ia telah mahfum dengan
isyarat kecil kuberikan mengenai buku miliknya. Aku segera membereskan
penampilanku yang acak – acakan, walau sebenarnya aku baru saja mandi. Sedetik
kemudian aku berlari keluar dari middle
room dormitoryku dengan sebuah buku berjudul “Public Speaking Mastery”
miliknya tengah kugenggam ditangan kananku. Aku menghampiri mejanya, memberikan
buku itu lalu duduk dihadapannya. Kucoba menciptakan suasana hangat untuk
memulai percakapan disaat – saat terakhirku bersamanya. Tapi gugup itu selalu
membuntutiku. Ya... aku gugup, salah tingkah.
Aku
masih terbata merangkai momen terakhirku ini. Semoga tidak terlalu buruk,
harapku. Tapi yang terjadi lebih menyakitkan, ia malah mengajakku membicarakan
wanita lain. Wanita yang ia suka tentunya. Kucoba berkali – kali mengalihkan
topik kami. Tapi percuma saja, akhirnya aku harus menyerah juga dengan keadaan.
Kuturuti saja maunya untuk membicarakan “topiknya”. Kata demi kata terasa
sangat berat terucap dari bibirku. Ingin sekali rasanya kukatakan “Aku
Menyukaimu!!”. Tapi aku yakin hal itu bukanlah tindakan tanpa resiko terburuk.
Ku pendam saja, kuharap ia tau. Entahlah... maybe
I’m gloomy? I don’t know!!
Akhirnya
kegiatan berbalas kata yang menyiksaku itu berakhir saat ia memutuskan
meninggalkan tempat duduknya. Aku hanya bisa mengiyakannya, melepasnya pergi
hingga tak terlihat lagi. Aku hanya terdiam membisu diatas kursi kayuku, hatiku
bergemuruh. Aku tak dapat menerima semua ini. Aku terpelanting dalam lamunan
distorsi kesedihan milikku. Aku tak terima ia mencintai yang lain. Mengapa
bukan aku?
Aih...
pandangan itu kurasa sedikit mengusik kegalauanku. Mr. Samuel, ia sahabat
baikku. Entahlah... tapi aku menganggapnya demikian. Kuhampiri ia yang duduk
dimeja seberang. Aku yakin, ia pasti sedang memikirkan sesuatu untuk
menceramahi kebodohanku meratapinya. Ku usap secerca gurat lusuh dari wajahku.
Ku langkahkan kaki sedikit bergeser menuju meja yang tengah ia duduki bersama
Miss Dinar, sepupunya.
Benar
saja, belum semenit aku mengacaukan pemandangan matanya aku telah diberondong
dengan nasehat – nasehat super ala Mr. Samuel. So far so good, nasehatnya
sejauh ini masih bisa sedikit membuatku tegar. Bahkan mungkin lebih dari itu,
aku mulai menyadari bahwa aku memang ‘mencintainya’ namun sesungguhnya aku
hanya ‘menyukainya’ bukan ‘menyayanginya’. Sebaris kalimat petua darinya tak
mungkin dapat kulupakan. Dan mungkin juga menjadi kalimat terahir yang ia
berikan padaku hari ini, pada pertemuan terakhir kami di Kampung Inggris ini. Tentunya
karena siang ini aku sudah harus kembali ke Kampung halamanku, Sidoarjo. Dan
sebaris kalimat itu kurang lebih berbunyi demikian... Cinta itu dibagi menjadi dua, suka dan sayang. Saat kamu mencintai
seseorang pastikan dulu kamu menyukainya atau menyayanginya. Kalau ternyata
kamu menyukainya, hati – hati... ujung – ujungnya hanya untuk mencari
kesenangan sesaat. Tapi kalau kamu menyayanginya kamu akan melakukan yang
terbaik untuknya meski tanpa yang dinamakan pacaran, mungkin bisa juga hanya
sebatas berteman.
Pare,
I believe you have many endless story. I hope you won’t cut my story today...
Allow me to see you later J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar