Rabu, 26 Juni 2013

Ternyata Ku Tak Mengenalmu, CINTA!!!


                Dua pekan menjalani hari – hari di Kampung Inggris rasanya telah membuatku terkontaminasi euforia pesona sudut kota Pare yang menawan ini. Setidaknya hal itu terjadi karenakan banyak hal yang telah kudapat disini. Ilmu, persahabatan, dan “cinta”. Ngomong – ngomong soal cinta aku teringat suatu kejadian kecil yang kualami pada hari terakhir keberadaanku di kota sejuta cerita ini.

                Siang itu adalah akhir pekan yang terik. Seperti biasa, aku dan kawan – kawanku di dormitory female 2 terhipnotis suasana akhir pekan yang menggoda. Ya... kami semua tergoda oleh buaian kotak pipih empuk yang biasa kami sebut kasur. Tak sedikit dari kami yang
menghabiskan hampir setengah hari sabtu terik kami diatas kasur. Kurang lebih begitu pula yang kulakukan. Namun siang ini aku lebih tergoda untuk mengutak – atik komputer jinjingku diatas kasur empuk ini ketimbang memilih untuk terlelap menjelajahi alam mimpi. Aku terlarut memandangi momen – momen terakhirku bersama kawan – kawan seperjuanganku yang terekam pada lukisan – lukisan elektronik dilayar datar ini. Ya... setelah aku memindahnya dari telephone genggamku tentunya. Dan disana juga tersimpan wajahnya. Dia yang membuatku terkagum – kagum, awalnya. Dan mungkin akhirnya aku jatuh cinta padanya. Entahlah...
                Management file sudah beres ku kira? Aku memutuskan untuk menjinjing besi berwarna coklat ini keluar ruangan untuk mendapatkan sinyal wi – fi. Aku ingin membagikannya di akun jejaring sosialku, setidaknya agar aku dapat melihatnya kapanpun saat aku berselancar disana. Belum genap 5 menit aku mengambil posisi dibelakang meja office dormitory yang tak lagi terpakai ini. Tiba – tiba, sosoknya muncul memasuki gerbang dormitoryku, berbelok menuju sudut kantin dormitory dan mengambil posisi disebelah kawan lelakinya. Perasaanku membuncah, padahal aku telah bertekad untuk tak menemuinya di hari terakhirku disini. Aku takut aku takkan bisa setegar baja saat aku harus menerima kenyataan bahwa inilah saat terakhirku dapat memandanginya. Entahlah darimana mulutku sekejap terbuka dan memanggil namanya, buku miliknya yang masih berada ditanganku tiba – tiba saja terbersit untuk menjadi alasan bagiku agar aku dapat sekedar bercakap dengannya, mungkin untuk terakhir kalinya.
                Aku segera berlari menuju ruang tidurku saat kuyakini ia telah mahfum dengan isyarat kecil kuberikan mengenai buku miliknya. Aku segera membereskan penampilanku yang acak – acakan, walau sebenarnya aku baru saja mandi. Sedetik kemudian aku berlari keluar dari middle room dormitoryku dengan sebuah buku berjudul “Public Speaking Mastery” miliknya tengah kugenggam ditangan kananku. Aku menghampiri mejanya, memberikan buku itu lalu duduk dihadapannya. Kucoba menciptakan suasana hangat untuk memulai percakapan disaat – saat terakhirku bersamanya. Tapi gugup itu selalu membuntutiku. Ya... aku gugup, salah tingkah.
                Aku masih terbata merangkai momen terakhirku ini. Semoga tidak terlalu buruk, harapku. Tapi yang terjadi lebih menyakitkan, ia malah mengajakku membicarakan wanita lain. Wanita yang ia suka tentunya. Kucoba berkali – kali mengalihkan topik kami. Tapi percuma saja, akhirnya aku harus menyerah juga dengan keadaan. Kuturuti saja maunya untuk membicarakan “topiknya”. Kata demi kata terasa sangat berat terucap dari bibirku. Ingin sekali rasanya kukatakan “Aku Menyukaimu!!”. Tapi aku yakin hal itu bukanlah tindakan tanpa resiko terburuk. Ku pendam saja, kuharap ia tau. Entahlah... maybe I’m gloomy? I don’t know!!
                Akhirnya kegiatan berbalas kata yang menyiksaku itu berakhir saat ia memutuskan meninggalkan tempat duduknya. Aku hanya bisa mengiyakannya, melepasnya pergi hingga tak terlihat lagi. Aku hanya terdiam membisu diatas kursi kayuku, hatiku bergemuruh. Aku tak dapat menerima semua ini. Aku terpelanting dalam lamunan distorsi kesedihan milikku. Aku tak terima ia mencintai yang lain. Mengapa bukan aku?
                Aih... pandangan itu kurasa sedikit mengusik kegalauanku. Mr. Samuel, ia sahabat baikku. Entahlah... tapi aku menganggapnya demikian. Kuhampiri ia yang duduk dimeja seberang. Aku yakin, ia pasti sedang memikirkan sesuatu untuk menceramahi kebodohanku meratapinya. Ku usap secerca gurat lusuh dari wajahku. Ku langkahkan kaki sedikit bergeser menuju meja yang tengah ia duduki bersama Miss Dinar, sepupunya.
                Benar saja, belum semenit aku mengacaukan pemandangan matanya aku telah diberondong dengan nasehat – nasehat super ala Mr. Samuel. So far so good, nasehatnya sejauh ini masih bisa sedikit membuatku tegar. Bahkan mungkin lebih dari itu, aku mulai menyadari bahwa aku memang ‘mencintainya’ namun sesungguhnya aku hanya ‘menyukainya’ bukan ‘menyayanginya’. Sebaris kalimat petua darinya tak mungkin dapat kulupakan. Dan mungkin juga menjadi kalimat terahir yang ia berikan padaku hari ini, pada pertemuan terakhir kami di Kampung Inggris ini. Tentunya karena siang ini aku sudah harus kembali ke Kampung halamanku, Sidoarjo. Dan sebaris kalimat itu kurang lebih berbunyi demikian... Cinta itu dibagi menjadi dua, suka dan sayang. Saat kamu mencintai seseorang pastikan dulu kamu menyukainya atau menyayanginya. Kalau ternyata kamu menyukainya, hati – hati... ujung – ujungnya hanya untuk mencari kesenangan sesaat. Tapi kalau kamu menyayanginya kamu akan melakukan yang terbaik untuknya meski tanpa yang dinamakan pacaran, mungkin bisa juga hanya sebatas berteman.
                Pare, I believe you have many endless story. I hope you won’t cut my story today... Allow me to see you later J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar